Site icon Voluptaria

Suku Baduy Ingin Keluar Dari Tujuan Wisata : Salah Pemerintah Atau Wisatawan ?

Illustration : Voluptaria/Transme

Illustration : Voluptaria/Transme

Suku Baduy atau Urang Kanekes adalah sebuah suku di daerah Banten yang mengisolasi diri dari dunia luar. Mereka adalah sebuah suku yang mempertahankan cara hidup tradisional dan menjadi hal yang tabu bagi mereka untuk didokumentasikan, khususnya masyarakat Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Dalam masih memegang teguh adat-istiadat dari nenek moyang, salah satunya yaitu dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing. Sementara itu, masyarakat Baduy Luar memiliki kehidupan sedikit lebih modern dari masyarakat Baduy Dalam, mereka telah mengenal alat elektronik dan menggunakan peralatan rumah tangga modern.

Perbedaan lain antara Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar adalah baduy dalam penggunakan ikat kepala bewarna putih serta menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri. Sedangkan Suku Baduy Luar menggunakan pakaian adat berwarna hitam atau biru tua bahkan terkadang menggunakan baju modern. Suku Baduy juga memiliki beberapa larangan untuk masyarakatnya seperti tidak boleh menaiki kendaraan, tidak boleh menggunakan peralatan elektronik dan sabun, tidak boleh menggunakan alas kaki, serta pintu rumah harus menghadap ke selatan.

Sudah lebih dari setengah dekade semenjak wilayah Suku Baduy dibuka untuk tujuan wisata. Dinas Pariwisata Kabupaten Banten mengakui wilayah Suku Baduy menjadi tujuan wisata andalan. Tidak hanya menarik bagi wisatawan domestik tetapi juga wisatawan mancanegara. Terbukti dari beberapa artikel internasional tentang Suku Baduy. Tentu saja hal ini mempengaruhi kehidupan masyarakat Suku Baduy baik secara sosial maupun ekonomi. Dari segi sosial, banyaknya wisatawan yang berkunjung membuat masyarakat Baduy berinteraksi dengan masyarakat luar dan wilayah Suku Baduy menjadi lebih ramai karena wisatawan yang berlalu lalang. Secara ekonomi, banyak dari masyarakat Suku Baduy menjadi produsen kerajinan tangan dan oleh-oleh khas Suku Baduy lainnya.

Selain dampak positif yang dirasakan Suku Baduy, terdapat dampak negatif yang dirasakan. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat Suku Baduy terdapat perasaan tidak nyaman akan kehadiran wisatawan. Banyaknya kunjungan wisatawan membuat para tokoh adat Suku Baduy khawatir kewalahan mengahadapi modernisasi dan akan kesulitan menanamkan nilai adat yang berlaku. Pada awal bulan Juli tahun 2020, Lembaga Adat Suku Baduy mengirim surat permohonan kepada Presiden untuk menghapus wilayah Suku Baduy sebagai tujuan lokasi wisata. Lembaga Adat Baduy ingin menghapuskan destinasi Suku Baduy dengan karena selama ini mereka merasa risih karena kehidupan masyarakat adat cenderung dijadikan tontonan. Banyaknya foto dan video tentang Suku Baduy dalam yang sudah jelas dilarang untuk mengambil foto maupun video. Bukan hanya itu, kunjungan wisatawan yang berlebihan juga menimbulkan masalah sampah yang merusak kelestarian alam Suku Baduy.

Pengajuan penghapusan Wilayah Suku Baduy sebagai lokasi tujuan wisata tidak menjadikan Suku Baduy tidak menerima kunjungan. Penghapusan destinasi Suku Baduy ini diikuti dengan pemberian nama Cagar Budaya Baduy. Cagar Budaya sendiri artinya warisan budaya yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Pemberian nama Cagar Budaya ini diharapkan agar wisatawan tidak hanya menjadikan kehidupan masyarakat Baduy sebagai tontonan tetapi juga menjadi silaturahmi antar masyarakat. Wisatawan diharapkan mematuhi batasan-batasan yang boleh dikunjungi oleh wisatawan. Selama dijadikan destinasi tujuan wisata, wisatawan memasuki wilayah Suku Baduy dalam bahkan mendokumentasikan dalam bentuk foto maupun video. Hal ini tentu saja meresahkan karena secara adat Suku Baduy dalam dilarang berinteraksi dengan masyarakat luar dan tidak menggunakan teknologi.

Dibukanya Wilayah Suku Baduy sebagai destinasi wisata seharusnya dibarengi dengan upaya pemerintah agar menjaga kawasan adat itu agar tetap terjaga. Pemerintah harus menyediakan ekowisata untuk daerah adat. Ekowisata adalah perjalanan wisata yang bertanggung jawab melestarikan kealamian daerah tersebut, menopang kesehahteraan masyarakat setempat dan melibatkan intepretasi lingkungan hidup. Ekowisata memberikan pengalaman positif bagi wisatawan maupun masyarakat setempat, menumbuhkan kesadaran untuk melestarikan lingkungan dan budaya, membangun rasa hormat antar masyarakat. Ekowisata harus menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut:

  1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan.
  2. Melindungi keanekaragaman hayati.
  3. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.

The Ecotourism Society ( Eplerwood/1999 ) menyebutkan delapan prinsip yang mana pelaksaan delapan prinsip ini menjamin pembangunan yang ramah lingkungan  berbasis kerakyatan, delapan prinsip itu adalah :

  1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya.
  2. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.
  3. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pengembangan ekowisata serta diharapkan masyarakat aktif melakukan pengawasan.
  4. Keuntungan secara nyata secara ekonomi diberikan ke masyarakat dari kegiatan ekowisata , supaya masyarakat terdorong  menjaga kelestarian kawasan alam.
  5. Upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam.
  6. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.
  7. Daya dukung lingkungan alam yang kurang dibanding lingkungan buatan,
  8. Peluang menambah penghasilan yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.

Pembukaan kawasan adat yang asri tanpa adanya perencanaan wisata yang ramah lingkungan, akan merusak keberlangsungan hidup masyarakat adat lebih cepat. Ekowisata dalam jangka panjang juga menimbulkan dampak negatif bagi destinasi wisata tersebutt yaitu (Yoeti, 2008):

  1. Sumber-sumber hayati menjadi rusak, yang menyebabkan Indonesia akan kehilangan daya tariknya untuk jangka panjang;
  2. Pembuangan sampah sembarangan yang selain menyebabkan bau tidak sedap, juga dapat membuat tanaman di sekitarnya mati;
  3. Sering terjadi komersialisasi seni-budaya; dan
  4. Terjadi demonstration effect, kepribadian anak-anak muda rusak. Cara berpakaian anak-anak sudah mendunia berkaos oblong dan bercelana kedodoran.

Menurut Abdulsyani, Ekowisata sebagai industri pariwisata merupakan bagian dari cultural industry yang melibatkan seluruh masyarakat. Meskipun hanya sebagian masyarakat yang terlibat, namun pengaruh sosial lebih luas seperti terjadinya ketimpangan/ kesenjangan sosial dalam masyarakat. Pengaruh pariwisata terhadap masyarakat termasuk terjadinya perubahan proses sosial masyarakat yang di dalamnya terdapat kerjasama dan persaingan antara pelaku pariwisata. Proses sosial adalah hubungan timbal balik antar individu, individu dengan kelompok, dan antar kelompok, berdasarkan potensi atau kekuatan masing-masing.

 Saat ini salah satu destinasi yang telah berhasil menerapkan konsep ekowisata adalah Desa Wisata Nglanggeran di kecapatan Patuk, kabupaten Gunungkidul. Desa Wisata ini dikelola dan dikembangkan secara perlahan mulai dari tahun 2008. Pengelola tidak ingin membuat atraksi wisata baru yang relatif konvensional dan meningkatkan popularitas secara cepat. Desa wisata ini menawarkan atraksi wisata berupa nuansa pedesaan sebagai daya tarik utama bagi wisatawan.

Tidak hanya pemerintah dan masyarakat didaerah wisata yang memiliki peran, akan tetapi wisatawan juga ikut andil dalam hal ini. Wisatawan harus menerapkan ‘dimana tanah dipijak disitu langit di junjung’ dengan begitu wisatawan diharapkan menghormati dan mematuhi segala peraturan yang berlaku di daerah wisata tersebut. Wisatawan tidak semena-mena berperilaku yang meresahkan warga sekitar. Mungkin perilaku ini tidak hanya diterapkan pada saat berkunjung ke tempat adat, akan tetapi juga ke tempat wisata lainnya. Diketahui beberapa waktu lalu tempat wisata menjadi rusak ataupun tercemar karena ulah wisatawan. Seperti Amaryllis Garden di Yogyakarta yang akhirnya ditutup karena mengalami kerusakan parah. Wisatawan yang berfoto ditengah ladang bunga mengakibatkan bunga banyak yang terinjak dan patah. Tahun 2018 lalu padang rumput di Gililawa terbakar, diduga karena ada oknum yang membuang putung rokok sembarangan. Tahun ini, bekas area tambang di mojokerto yang sempat viral di media sosial akhirnya ditutup oleh pemilik lahan. Adanya kunjungan yang membeludak dan banyak sampah tertinggal. Semoga hal ini menjadi pembelajaran untuk kedepannya agar tidak ada lagi daerah wisata yang ditutup karena mengalami kerusakan.


Daftar Pustaka :
  1. Abdilah, Rifa Yusya. 15 Juli 2020. “ Jokowi Diminta Jadikan Baduy Sebagai Cagar Budaya Bukan Tempat Wisata”. Merdeka.com. Diakses pada 17 Juli 2020 ( https://www.google.co.id/amp/s/m.merdeka.com/amp/peristiwa/jokowi-diminta-jadikan-baduy-sebagai-cagar-budaya-bukan-tempat-wisata.html )
  2. Chassitira, Nana. 1 Oktober 2018. “ Perbedaan Baduy Dalam dan Baduy Luar”inanews.co.id. Diakses pada 12 Juli 2020. ( https://www.inanews.co.id/2018/10/apa-perbedaan-baduy-dalam-dan-baduy-luar/ )
  3. Firmansah. 2018. “Desa Wisata Ngelanggeran Sebagai Destinasi Wisata Berbasis Ekowisata di Yogyakarta”. Jurnal Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta.
  4. Hijriati, Emma dan Rina Mardina. 2014. “PENGARUH EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN KONDISI EKOLOGI, SOSIAL DAN EKONOMI DI KAMPUNG BATUSUHUNAN, SUKABUMI” dalam Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 02 No.03, hlm ( 146-159). Institut Pertanian Bogor.
  5. Nazmudin, Acep dan Kontributor Banten. 8 Juli 2020. “ Ini Alasan Suku Baduy Minta Kawasannya Dihapus dari Lokasi Tujuan Wisata” Kompas.com. Diakses pada 9 Juli 2020.( https://regional.kompas.com/read/2020/07/08/05370001/ini-alasan-suku-baduy-minta-kawasannya-dihapus-dari-lokasi-tujuan-wisata?page=all#page2 )
  6. Rahmawati, Yuni. 4 Maret 2019. “Pengertian Cagar Budaya berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya”. Kebudayaan.kemendikbud.go.id.  Diakses pada 17 Juli 2020 ( https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/pengertian-cagar-budaya-berdasarkan-undang-undang-cagar-budaya/ )
  7. Senja, Anggita Muslimah Maulidya Prahara. 20 Februari 2018. “ 5 Tips Berkunjung ke Desa Adat Baduy Banten” Kompas.com. Diakses pada 9 Juli 2020. ( https://travel.kompas.com/read/2018/02/20/064500627/5-tips-berkunjung-ke-desa-adat-baduy-banten )
  8. Zulkifli, Dadan. 18 Agustus2018 “ Konsep Pengembangan Ekowisata” Swarapendidikan.co.id. Di akses pada 15 Juli 2020. ( http://swarapendidikan.co.id/konsep-pengembangan-ekowisata/ )

EDITOR : AYU SAFITRI

Exit mobile version