Selama pandemi ini, saya tengah mengalami dilema besar yakni insecure dan jenuh. Tidak seperti kampanye #DiRumahAja yang digambarkan seru nan asyik, semedi saya di dalam rumah selama berbulan-bulan benar-benar menjenuhkan. Bagaimana tidak, saya dihadapkan pada rutinitas yang sama dan dalam ruang yang sama setiap hari. Tetapi saya tidak punya pilihan lain, karena keluar bepergian juga membuat saya (mungkin juga kamu) insecure alias dihantui perasaan tidak aman. Saya belum berani bepergian hingga ada kejelasan terkait protokol dan paling tidak penurunan jumlah persebaran covid 19. Saya kira calon wisatawan seperti saya inilah yang menghambat usaha bangkit dari sektor pariwisata.
Dari sekian banyak masalah sektor pariwisata yang menumpuk selama pandemi, yang harus diberi perhatian lebih adalah calon wisatawan. Hingga kini, hanya sedikit sekali calon wisatawan yang bulat tekadnya untuk bepergian di era new normal, meskipun beberapa titik destinasi wisata sudah mulai membuka akses untuk wisatawan. Mengingat wisatawan merupakan inti dari aktivitas pariwisata, maka pasar pariwisata seluruhnya bergantung pada para wisatawan. Sehingga permintaan terlampau sedikit akan menyebabkan seluruh industri mengalami penurunan pendapatan dan dalam bentuk yang lebih ekstrem dapat mengalami kebangkrutan.
Lalu, apa sih yang membuat jumlah wisatawan tak kunjung naik secara signifikan di era new normal? Saya berargumen bahwa penyebabnya adalah modal sosial dan kepercayaan publik yang rendah.
Modal Sosial dan Kepercayaan Publik
Dalam kerangka negara demokrasi, penyelenggaraan pemerintahan amat bergantung pada modal sosial. Secara sederhana modal sosial dapat diartikan sebagai penghubung, nilai-nilai bersama dan pemahaman dalam masyarakat yang memungkinkan individu dan kelompok untuk saling percaya dan saling bekerja sama (OECD). Keberadaan modal sosial yang kuat menjadi hal yang fundamental dalam negara demokrasi, karena dalam pelaksanaannya modal sosial memiliki hubungan resiprokal terhadap demokrasi (Paxton, 2012).
Maka dari itu tiap-tiap tindakan dan keputusan yang diambil di ruang demokrasi akan berpengaruh terhadap modal sosial dan berlaku sebaliknya. Semakin lemah modal sosial, akan semakin sulit untuk menerapkan kebijakan yang melibatkan masyarakat luas di dalamnya sementara semakin kuat modal sosial, akan semakin mudah menerapkan kebijakan yang melibatkan masyarakat, karena tingkat kooperatif masyarakat yang tinggi.
Modal sosial dapat tercermin dari rasa kekeluargaan, empati, hubungan yang baik, hingga kerjasama dan kolaborasi di dalam masyarakat demokrasi baik antar masyarakat itu sendiri maupun hubungan masyarakat dengan pemerintah. Semua cerminan modal sosial diatas memiliki satu pra-kondisi yang meniscayakan terbentuknya modal sosial, yakni kepercayaan publik. Sehingga, dalam tiap-tiap relasi yang ada di dalam masyarakat, kepercayaan publik menjadi amat penting, termasuk bagi pemerintah.
Cerminan-cerminan diatas mengindikasikan bahwa kepercayaan publik menjadi salah satu syarat mutlak terbentuknya modal sosial yang kuat. Semakin tinggi dan luasnya kepercayaan publik maka semakin kuat pula modal sosial yang terbentuk dan berlaku sebaliknya. Pada akhirnya, modal sosial akan bergantung pada faktor-faktor yang membentuk kepercayaan publik.
Menurut Tahmina, kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa diantaranya adalah tentang keterbukaan informasi, transparansi dan anti korupsi, kebijakan sosial dan ekonomi, kebebasan berpendapat hingga interaksi & komunikasi, dan lain sebagainya (Tahmina, 2019). Lebih lanjut, faktor-faktor diataslah yang amat menentukan kesuksesan pelaksanaan kebijakan yang melibatkan masyarakat luas, karena mempengaruhi kepercayaan publik yang pada akhirnya mempengaruhi pula tingkat kooperatif publik yang diukur melalui besar-kecilnya modal sosial yang terbentuk.
Melihat tingginya urgensi akan membentuk modal sosial di kala pandemi, perbincangan publik mengenai hal ini justru absen. Seolah-olah tidak ada yang menyadari bahwa modal sosial yang kuat merupakan kunci untuk mengarungi masa pandemi. Kolaborasi dan kerjasama antar berbagai kalangan dari masyarakat hingga pemerintah adalah langkah yang harus ditempuh untuk segera mentas dari covid atau setidaknya untuk flattening the curve. Sehingga, modal sosial yang kuat sangat menentukan kesuksesan satu negara memberantas covid 19.
Namun, alih-alih terbentuk satu modal sosial yang kuat dan kepercayaan publik yang tinggi, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Kepercayaan publik di Indonesia malah mengalami penurunan di masa pandemi. Merujuk pada survei, kepercayaan publik untuk Presiden Jokowi meskipun masih relatif tinggi, turun sekitar 5 % menjadi 60.9 % sedangkan kepercayaan untuk Menteri Kesehatan Terawan turun drastis hingga 36.7 %. Tentu saja, penurunan ini bukan tanpa sebab melainkan karena kinerja pemerintah yang dinilai publik kurang tanggap mengatasi pandemi.
Sedari awal persebaran covid 19, pemerintah memang kerap melakukan tindakan kontroversial atau saya lebih suka menyebutnya blunder. Mulai dari pernyataan kontroversial, tumpang tindih kebijakan, kontroversi kartu Pra-Kerja, diskon tiket dan promosi wisata di kala peningkatan jumlah covid 19 signifikan, hingga kegiatan lain diluar covid 19 (seperti Omnibus Law). Berbagai tindakan diatas mengafirmasi kepercayaan publik yang rendah dan modal sosial yang lemah, serta cukup untuk mengindikasikan ketidaksigapan pemerintah untuk melindungi rakyat dari covid 19.
Yang cukup krusial bagi saya adalah tentang ketidakpercayaan publik terhadap data covid 19 yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebanyak 40.9% masyarakat yang tidak percaya terhadap data covid 19 yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini berawal dari ketidaksinkronan data yang dikeluarkan pemerintah daerah maupun nasional dan berbagai institusi terkait. Yang pada akhirnya berimbas pada penurunan kepercayaan publik.
Hal itu mengakibatkan sampai era new normal diberlakukan, banyak masyarakat yang tidak kooperatif dengan kebijakan yang diterapkan dan memperparah persebaran covid 19. Situasi yang tidak menentu inilah yang menjadi faktor utama tidak adanya peningkatan wisatawan yang signifikan di masa new normal. Padahal, wisatawan menjadi nyawa utama di dalam sektor pariwisata yang menentukan keberlanjutan sektor pariwisata itu sendiri.
Berbagai kebijakan seperti diskon tiket dan promosi wisata hingga kartu pra-kerja sempat menjadi bahan bully-an sosial media. Alih-alih berpartisipasi dalam tindakan-tindakan yang diambil pemerintah, masyarakat justru banyak membully kebijakan tersebut. Konsekuensinya, kebijakan dan tindakan yang diambil tidak akan efektif, karena tidak adanya dukungan dari masyarakat. Sehingga, seberapa masif kampanye protokol kesehatan yang dilakukan pemerintah dan influencer-nya, tidak akan mempengaruhi masyarakat secara luas dan wisatawan secara khusus untuk kembali berwisata.
Akibatnya, meskipun beberapa daerah sudah membuka diri untuk kedatangan wisatawan, calon-calon wisatawan masih belum berani bepergian. Terutama sekali karena tidak adanya kejelasan mengenai data, kebijakan hingga jaminan keamanan.
Bertindak Sekarang Juga
Pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengembalikan kepercayaan publik kepada pemerintah untuk mengatasi covid 19 dalam rangka membentuk modal sosial yang kuat. Mengatasi yang dimaksud adalah dengan memberikan ketegasan kebijakan termasuk protokol kesehatan khususnya di destinasi wisata, transportasi, hotel dan tempat lain yang terkait sekaligus memastikan ketaatan terhadap protokol tersebut. Termasuk juga tentang transparansi data dan anggaran yang digunakan.
Soal kepercayaan ini penting, karena selain dapat membangun modal sosial yang kuat untuk mengarungi pandemi dan menumbuhkan solidaritas tinggi antara masyarakat dan pemerintah, kepercayaan publik dapat menghilangkan rasa insecure yang dialami calon wisatawan.
Terakhir, kolaborasi antar pemerintah dan masyarakat yang kelak terbentuk niscaya akan menghasilkan perputaran ekonomi untuk sektor pariwisata. Tentu saja akan mengurangi rasa insecure dan meningkatkan jumlah wisatawan secara perlahan namun pasti. Seperti yang sedang terjadi saat ini di beberapa daerah wisata tertentu seperti DIY yang tampil memukau dengan aplikasi smartphone Visiting Jogja dan tagline terbaru ‘Jogja Clean & Safe’.
Namun jika permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut, akan sulit untuk membangkitkan sektor pariwisata secara makro. Mengingat memulihkan kepercayaan publik memerlukan waktu yang tidak sebentar. Karena seperti kata pepatah, ‘Kepercayaan ibarat kertas. Sekali direnyuk, ia takkan kembali sempurna’.
Daftar Pustaka :
- Astari Retaduari, Elza. 2020. Survei Charta Politika: 56,1% Percaya Data COVID-19 dari Pemerintah. news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-5103685/survei-charta-politika-561-percaya-data-covid-19-dari-pemerintah diakses pada 25 Agustus 2020.
- CNN Indonesia. 2020. Survei: Kepercayaan Publik Terhadap Jokowi Atasi Corona Turun. cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200721130406-32-527099/survei-kepercayaan-publik-terhadap-jokowi-atasi-corona-turun diakses pada 25 Agustus 2020.
- OECD insight. Human Capital chapter 6 : A Bigger Picture. https://www.oecd.org/insights/37966934.pdf Diakses pada 25 Agustus 2020.
- Paxton, Pamela. 2002. Social Capital and Democracy: An Interdependent Relationship. American Sociological Review, 67(2), (pp 254-277).
- Tanny, Ferdous Tahmina. 2019. Trust in Government: Factors Affecting Public Trust and Distrust. Jahangirnagar Journal of Administrative Studies, Department of Public Administration, 12, (pp 49-63).
EDITOR : AYU SAFITRI
Leave a Reply