Dewasa ini, seharusnya pariwisata tidak hanya berbicara tentang perkembangan destinasi, melestarikan budaya ataupun mengkaji kebijakan pemerintah. Namun lebih dari itu, pariwisata harus mencakup lingkup yang lebih luas dan urgensi yang lebih tinggi, yakni masalah kesetaraan gender dalam industri pariwisata. Dalam ilmu sosial gender diartikan sebagai pola hubungan atau relasi laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada ciri-ciri sosial budaya, mentalis, nilai dan perilaku, dan faktor non-biologis lainnya yang berkembang pada suatu masyarakat dan kebudayaan. Gender cenderung merujuk pada peran sosial dan budaya dari perempuan dan laki-laki dalam masyarakat tertentu. Gender dapat berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainnya, serta dapat berubah seiring waktu.
Masalah gender merupakan masalah yang fundamental di setiap industri dan kehidupan masyarakat. Sebab, masalah ini akan berkaitan erat dengan implementasi kemanusiaan yang berpengaruh terhadap setiap kegiatan yang dilakukan individu dan perlakuan terhadapnya dalam lingkungan tertentu, termasuk dalam lingkungan sektor pariwisata. Dengan urgensi yang sedemikian tinggi, praktis masalah gender kini sekaligus masalah internasional. Di dalam Millennium Development Goals atau disingkat menjadi MDGs, perihal gender telah tertuang dalam poin ketiga yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Adanya poin tersebut menandakan PBB dan dunia internasional telah berupaya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan didukung juga dengan Gerakan kaum feminis. Namun hal itu tidak serta-merta membuat kita bernapas lega. Isu gender seakan-akan selalu menghantui tenaga kerja perempuan dimanapun. Hal tersebut membuat perempuan mendapat tembok di ranah publik serta mendapatkan perlakuan dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, atau diskriminasi yang tercermin dari berbagai isu gender.
Dalam pekerjaan di industri pariwisata perempuan lebih sering ditempatkan pada bagian administrasi atau food and beverage yang dianggap selaras dengan pekerjaan domestik. Sedangkan pekerjaan untuk laki-laki lebih bervariasi dan mendominasi seperti pengambil keputusan, pekerja terampil, berkompetensi teknis, dan mampu menjadi pemimpin. Namun pada kenyataannya pekerjaan administratif yang dianggap selaras tersebut juga banyak dilakoni oleh laki-laki yang dinilai lebih cekatan dalam bekerja. Praktis, hal ini memunculkan stereotip bahwa perempuan merupakan pekerja sekunder, tidak terampil, berfisik lemah, tidak mempunyai kompetensi teknis dan tidak mampu mengemban tugas sebagai pemimpin. Struktur yang timpang tersebut tidak terlepas dari kepentingan sekelompok orang yang menguasai sumber daya ekonomi. Padahal dengan melibatkan perempuan, dapat membuktikan bahwa mereka mampu mengerjakan tugas tersebut dan menunjukan potensi yang dimiliki.
Meski dihadapkan pada kondisi yang timpang, perjuangan untuk kesetaraan gender berjalan cukup keras. Buktinya sampai hari ini, kualitas dan kuantitas pekerja perempuan dapat meningkat cukup baik, dibuktikan dengan pertumbuhan angkatan kerja yang lebih cepat dibanding laki-laki. Namun tuntutan keadilan hak atas perolehan upah atau gaji yang setara dengan laki-laki belum berhasil. Kesenjangan itu bisa dilihat dari setiap jenis tingkat pendidikan, jam kerja, dan lapangan pekerjaan. Semakin rendah tingkat pendidikan perempuan maka semakin besar kesenjangan upah yang diterima terhadap laki-laki. Pada tingkat pendidikan SD kesenjangan lebih dari 100% (upah Rp 27.000,00 untuk perempuan dan Rp 55.000,00 untuk laki-laki). Semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan, kesenjangan itu semakin menyempit. Untuk jam kerja per minggu kesenjangan berkisar 30% artinya perempuan yang bekerja dengan jumlah jam kerja yang sama dengan laki-laki per minggunya menerima upah 30% lebih sedikit. Hal serupa terjadi juga dalam berwirausaha, artinya perempuan yang melakukan usaha ekonomi yang sama dengan laki-laki mendapatkan penghasilan yang lebih rendah dari pada laki-laki (Hafidz, 1995). Hal itu menunjukan adanya diskriminasi yang terjadi di bidang ekonomi. Diskriminasi juga terjadi dalam promosi kenaikan jabatan. Beberapa perusahaan menggunakan kriteria jenis kelamin pada jabatan-jabatan tertentu sehingga membatasi perempuan untuk menduduki posisi tersebut. Mereka menafsirkan bahwa perempuan mempunyai sisi emosional yang tidak tepat untuk dijadikan pemimpin atau jabatan lainnya.
Dalam kasus-kasus diatas terdapat berbagai alasan yang menggiring opini bahwa perempuan memang tidak bisa terlepas dengan kekuatan gender atas konstruksi sosial, beberapa diantaranya adalah :
- Perempuan memiliki peran ganda yang tidak dapat dipisahkan dari peran lain. Dengan menjadi seseorang yang dianggap wajib mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan domestik dan juga profesional saat berkarir dalam pekerjaannya. Hal tersebut membentuk opini bahwa perempuan tidak akan bekerja secara optimal dalam industri pariwisata. Padahal saat perempuan memilih untuk masuk dalam dunia kerja dia sudah menyadari konsekuensi memerankan peran ganda dan siap bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
- Absentisme dan pemutusan hubungan kerja di kalangan perempuan cukup tinggi. Secara mutlak perempuan akan mengalami fase hamil dan nifas membuat mereka harus cuti dalam pekerjaannya. Hal tersebut membuat perusahaan tidak mau rugi dan lebih condong memilih laki-laki dalam rekrutmen. Selain itu, saat perempuan tak lagi lajang maka saat ia bekerja rata-rata membutuhkan izin suami. Saat suami tak lagi mengijinkan, hal tersebut membuat banyaknya pemutusan kerja.
- Rendahnya human capital perempuan. Human capital meliputi pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Kebanyakan perusahaan menilai laki-laki lebih menguntungkan untuk jangka panjang saat diberi pelatihan. Hal tersebut didasarkan anggapan bahwa laki-laki lebih produktif.
- Terbatasnya jam kerja yang dimiliki perempuan. Pada industri pariwisata khususnya perhotelan akan dibagi shift kerja yang rata-rata dimulai pukul 07.00-15.00, pukul 15.00-23.00, dan pukul 23.00-07.00. pada shift kedua dan ketiga biasanya dianggap berisiko bagi perempuan karena alasan keamanan.
Perbedaan gender semestinya tidak menimbulkan masalah dalam kehidupan selama adanya relasi yang setara (gender equality) dalam semua aspek kehidupan. Namun kenyataan dalam masyarakat perbedaan gender melahirkan ketidakadilan bagi perempuan maupun laki laki yang nampak dalam bentuk; marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan dan beban domestik. Sehingga persoalan ketidakadilan gender sebenarnya merupakan persoalan sistem dan struktur dan bukan pada perempuan dan atau laki-lakinya (Fakih, 1995:11).
Perubahan posisi dan status perempuan dapat ditunjukan oleh peningkatan kualitas hidup perempuan. Untuk mencapai ini dibutuhkan dekonstruksi pada semua proses pembangunan, mulai dari pendekatan dalam merumuskan persoalan dan kebutuhan perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki dalam masyarakat, merancang kebijakan, program, implementasi, serta monitoring dan evaluasi agar semua proses ini benar-benar responsif gender (karmilah, 2013:126)
Daftar pustaka :
- Wiratha, I Made. Tahun. “KETIDAKADILAN JENDER YANG DIALAMI PEKERJA PEREMPUAN DI DAERAH PARIWISATA” dalam jurnal SOCA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Udayana.
- Abdullah, Irwan. 2003. “PENELITIAN BERWAWASAN GENDER DALAM ILMU SOSIAL” dalam jurnal Humaniora Volume XV, hlm (265-275). Universitas Gajah Mada.
- Haslinda. 2019. “PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM DUNIA PARIWISATA” dalam jurnal AN-NISA: Jurnal Studi Gender dan Anak, hlm (92-98). Institut Agama Islam Negeri Bone.
- Karmilah, Mila. 2013. “PERAN GANDA PEREMPUAN DI LINGKUNGAN PARIWISATA BANDUNGAN, JAWA TENGAH” dalam jurnal PALASTREN, Vol 6, hlm (129-158). Institut Agama Islam Negeri Kudus.
- Bening, Monica dan Sandy Maulana. 27 November 2016. “Mengkaji Peran Perempuan dalam Industri Pariwisata” Balairungpress.com. Di akses pada 25 Agustus 2020. (https://www.balairungpress.com/2016/11/mengkaji-peran-perempuan-dalam-industri-pariwisata/)
- Zulhatta, Imam. 03 Maret 2017. “Pariwisata danKesetaraan Gender”. Qureta.com. Di akses pada 25 Agustus 2020. (https://www.qureta.com/post/pariwisata-dan-kesetaraan-gender)
- Putra, Arif. 08 Desember 2019. “pengertian Gender menurut WHO, Teryata Beda dengan Seks” sehatqu.com. Di akses pada 25 Agustus 2020. (https://www.sehatq.com/artikel/pengertian-gender-dan-perbedaannya-dengan-seks)
EDITOR : SITI NIKMAH
Leave a Reply