Anda tahu Film Dumbo?
Dalam film tersebut, diceritakan bahwa Dumbo adalah seekor gajah sirkus bertelinga lebar yang dapat terbang dan amat terkenal, tetapi Ia diperlakukan tidak layak di balik arena sirkus kelas dunia, The Dreamland. Meski ceritanya memiliki alur yang mudah ditebak (untuk orang dewasa), namun film ini cukup spesial karena membawa pesan sekaligus kritik secara implisit di dalamnya. Film ini menggambarkan bagaimana perlakuan terhadap satwa di balik layar sirkus yang kejam. Dumbo dan satwa lainnya diceritakan mendapat berbagai pemaksaan dan perlakuan tidak nyaman selama bekerja untuk Dreamland. Celakanya, hal ini tidak hanya tergambar di dalam film Dumbo saja, melainkan terjadi juga pada ribuan ekor satwa yang bekerja untuk sirkus di dunia nyata.
Pembahasan dan perdebatan panjang tentang perlakuan manusia kepada satwa di industri sirkus memang telah berlangsung cukup lama. Sejarah penggunaan satwa di dalam sirkus sendiri, dimulai sekitar abad ke-19. Tercatat pada 1831, seorang pelatih Prancis, Henri Martin tampil di Jerman dengan seekor harimau yang kemudian diikuti oleh pelatih Amerika, Isaac A. Van Amburgh yang terkenal karena aksi menempelkan kepalanya ke mulut harimau. Semakin terkenalnya sirkus yang melibatkan satwa kala itu, membuat publik bertanya-tanya soal bagaimana satwa-satwa tersebut dilatih dan dipelihara. Setelah perlahan terungkap, mulai muncul berbagai perlawanan di abad 20 secara sporadis, misalkan oleh Captive Animals Protection Society (CAPS) yang diinisiasi oleh seorang pensiunan guru sekolah bernama Irene Heaton di Inggris. Kala itu, Irene Heaton terkejut dengan berbagai penderitaan satwa yang bekerja di industri hiburan, dan CAPS dibuat untuk melawan hal tersebut. Hari ini, perjuangannya di Inggris diteruskan oleh Freedom for Animals, mereka berjuang bersama dengan ratusan ribu yayasan, kelompok, dan komunitas di seluruh dunia.
Sirkus satwa menjadi bahan pembicaraan dan perdebatan yang tak berujung. Keberadaannya selalu menjadi isu panas yang kontroversial, hal ini terutama sekali mengacu kepada kesewenang-wenangan pengelola sirkus yang tidak memberikan perlakuan layak terhadap satwa atraksinya. Setidaknya, menurut People for the Ethical Treatment for Animals (PETA), sirkus berputar di tiga lingkaran pelanggaran.
Pertama adalah soal tempat tinggal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa satwa sirkus cenderung menghabiskan waktunya di dalam perjalanan. Di kandang yang sempit, di atas truk, di gerbong kereta dan dikurung dengan kekurangan makanan maupun air di dalam kandang. Kondisi seperti ini merupakan hal yang berbahaya bagi satwa secara fisik maupun mental. Sebab, di alam liar satwa hidup dengan gaya hidup alami tertentu. Misalkan, kelompok kucing besar (singa, harimau, macan tutul, dll) yang seharusnya aktif pada malam hari, terpaksa harus menunduk di kandang yang sempit, atau kelompok monyet dan simpanse yang biasa hidup dalam komunitas dan bersosial di skala tertentu, terpaksa menyendiri di kandang yang tidak layak. Nasib sama juga menimpa gajah yang kakinya dirantai di kereta, lumba-lumba yang ditempatkan di akuarium mini, dan berbagai penempatan tidak layak dan tidak sesuai lainnya. Penempatan yang tidak sesuai ini dapat berakibat stres bagi satwa. Biasanya dapat ditandai dengan perilaku tidak normal seperti mondar-mandir, ketakutan, hingga agresivitas, dan dalam skenario terburuk, pengandangan dan pemeliharaan yang tidak layak ini menjadi penyebab utama banyaknya satwa yang sirkus yang mati di perjalanan, seperti nasib malang harimau sirkus Rusia yang mati setelah 20 jam perjalanan melintasi Siberia di truk boks tertutup beberapa tahun lalu.
Kedua adalah soal metode pelatihan. Dalam pelatihan, para satwa seringkali menerima siksaan berupa pukulan, cambukan, hingga setrum untuk membuat mereka dapat diorganisir sesuai dengan konsep pentas sirkus. Bahkan di beberapa kasus, pengelola sirkus melakukan mutilasi untuk meminimalisir resiko cedera pada pelatih dan penonton, seperti pemotongan taring, kuku, dan bagian fisik lain yang dinilai membahayakan. Dikutip dari Animals Ethics, perlakuan keji semacam itu sempat dikonfirmasi oleh Kenneth Feld, CEO dari Ringling Bros. and Barnum & Bailey Circus yang kini telah tutup. Kenneth mengakui bahwa gajah dipukul di belakang telinga, di bawah dagu, dan di kaki mereka dengan rantai, tongkat logam, dan kait. Dia juga mengakui bahwa gajah-gajah tersebut diberi setrum. Bahkan, tercatat sampai dengan 2016, sirkus telah membunuh sekitar 65 ekor gajah yang mana 95% dari mereka dirantai dan ditempatkan dalam kandang kecil.
Selain pada kandang dan pelatihan, pecinta satwa juga membahas soal aksi-aksi yang ditampilkan di dalam sirkus, yang memaksa satwa bertindak diluar tindakan alamiahnya. Kita bisa menyaksikan gajah yang berdiri dengan dua kaki belakang, singa yang melompat ke dalam cincin api, beruang menari-nari, hingga monyet mengendarai sepeda motor. Sama seperti metode pelatihan, tindakan-tindakan tidak alamiah tersebut mengancam satwa secara fisik dan mental sekaligus. Contohnya, meski kerap ditemui di alam liar (gajah yang berdiri dengan dua kaki), mereka tidak melakukannya untuk waktu yang lama karena tubuh mereka secara alami tidak mampu melakukannya. Kegiatan seperti ini dapat menyebabkan hernia dan sakit kronis untuk satwa berat, seperti gajah (PETA). Contoh lainnya yaitu singa, harimau dan jenis kucing-kucing besar yang mampu melompat melewati cincin api. Di alam liar, faktanya kucing besar takut terhadap api. Kemampuan melompat melewati cincin api merupakan afirmasi bahwa rasa takut mereka terhadap api masih kalah besar dibanding rasa takut mereka terhadap pelatih sirkus. Hal serupa juga terjadi pada beruang yang bisa berdiri meskipun tidak nyaman, monyet yang mampu mengendarai sepeda motor seperti pada topeng monyet, dan masih banyak satwa lain yang dipaksa untuk melakukan hal-hal diluar sifat alaminya. Pemaksaan untuk suatu hal yang tidak alami bagi satwa tak pelak membuat satwa menderita stres dan mengalami risiko kerusakan tubuh yang besar.
Pada akhirnya, jika penyiksaan dan pemeliharaan dilakukan terus menerus dan sewenang-wenang, hal itu dapat memunculkan risiko bagi manusia ketika satwa sirkus memutuskan untuk melawan dan memberontak. Pemberontakan satwa bisa berakibat fatal untuk manusia baik itu penonton, pelatih ataupun masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pentas sirkus dan tak sedikit pula berakibat kematian. Hal ini pernah dialami oleh Tyke, seekor gajah yang membunuh pelatihnya dan melukai perawatnya lalu mati tertembak, setelah melarikan diri di jalanan Hawaii, dan juga Mary, seekor gajah yang membunuh asisten pelatihnya dan harus mati di tiang gantung di daerah Tennessee, Amerika sebagai ‘hukumannya’.
Kenapa masih banyak yang nonton sirkus satwa?
Jika anda menyimak paparan sederhana di atas dengan baik, mungkin anda akan sampai ke satu pertanyaan. Mengapa masih banyak orang yang mau datang untuk menonton sirkus satwa? Tanpa mengelak, baik saya maupun anda, ketika berkunjung ke pentas sirkus, kita akan tersihir oleh beragam keterampilan dan kepiawaian yang disajikan. Menurut saya, semua ini diakibatkan perbedaan cara pandang penonton di satu sisi dan kesan yang dibangun oleh sirkus di sisi yang lain. Pengusaha sirkus nyatanya terbukti cukup pandai untuk menyampaikan pesan bahwa mereka adalah sahabat satwa dan melatih satwa dengan cara-cara yang tidak menyakiti dan memastikan mereka aman sekaligus nyaman.
Sebagai contoh, pesan-pesan ini bisa kita lihat dari tagline populer yang mereka gunakan seperti ‘Its Circus, The happy place’ atau juga ’Circus Family comes to entertain!’. Kata-kata seperti Happy Place atau Circus Family berusaha memengaruhi lebih jauh dan mengonstruksi kesadaran kita bahwa sirkus satwa adalah tempat dan/atau pertunjukan bahagia berbasis kekeluargaan. Bersama dengan tagline, sirkus menyampaikan pesan tersembunyi yang kita terima dari alam bawah sadar. Selain tagline, biasanya sirkus juga menyertakan adlibs (iklan melalui perkataan) yang kerap dilontarkan di akhir pertunjukan yang mengklaim bahwa mereka melatih satwa dengan baik, menganggap mereka keluarga, dan biasanya ditutup dengan pembicaraan soal konservasi.
Kebanyakan penonton, mereka termakan iklan dan kampanye cantik oleh sirkus dan tidak terlintas di pikiran bahwa sirkus sejatinya kontradiktif dengan apa yang mereka sampaikan. Faktanya, sirkus tidak pernah menyediakan konservasi maupun edukasi. Alih-alih konservasi, justru perlakuan mereka terhadap satwa dan catatan sejarah mengenai itu semua menunjukan sebaliknya. Sehingga, setelah menelanjangi pernak-pernik tagline dan promosi sirkus satwa, yang tersisa hanyalah perlakuan yang tidak semestinya terhadap satwa yang berakibat pada stres, kepunahan, hingga kematian baik satwa maupun manusia.
What to do?
Meski perlawanan untuk menghentikan kesewenang-wenangan sulit dilakukan, setidaknya kita bisa mulai untuk mengedukasi antar sesama. Kita bisa memulai dari kampanye-kampanye, edukasi, seminar, dan pergerakan komunitas untuk menghentikan sirkus satwa. Tidak ada yang menyenangkan dari penyiksaan. Ini sungguh bukan wisata. Karena memangnya, siapa orang waras yang bersenang-senang untuk menonton penyiksaan satwa di depan matanya sendiri?
EDITOR : FIFI
Leave a Reply