Site icon Voluptaria

Community Based Tourism, dapatkah menjadi solusi bagi Indonesia?

Photo by Paz Arando on Unsplash

Istilah Community Based Tourism mungkin sudah tak lagi asing di dalam dunia pariwisata, namun bagi beberapa orang diluar sana hal ini mungkin menjadi suatu hal yang terasa asing di telinga mereka. Dalam upaya pembangunan sustainable tourism istilah Community Based Tourism juga sering terdengar. Jadi apa sebenarnya community based tourism itu? Jika diruntut dari definisi komunitas yang diterangkan oleh WHO (1974), komunitas merupakan kelompok sosial yang ditentukan oleh batas-batas wilayah, nilai-nilai keyakinan dan minat yang sama, serta adanya saling mengenal dan interaksi antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Kemudian disebutkan oleh Stradas dan Hausler (2003) bahwa Community Based Tourism merupakan suatu pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal baik yang terlibat langsung maupun yang tidak langsung pada industri pariwisata. Jadi konsep dari Community Based Tourism dapat dikatakan sebagai sebagai suatu upaya pembangunan pariwisata yang bertumpu pada masyarakat lokal. CBT (Community Based Tourism) merupakan suatu upaya untuk mencapai Sustainable Tourism yang memberdayakan masyarakat dalam berbagai kegiatan pariwisata. Terdapat tiga kegiatan pariwisata yang dapat mendukung CBT yaitu adventure travel, cultural tourism dan ecotourism. Ketiga kegiatan diatas lebih memanfaatkan keunggulan suatu komunitas ataupun wilayah dimana komunitas itu tinggal. Keunggulan tersebut yang kemudian diolah untuk menjadi daya tarik wisata suatu tempat. Kemudian dalam pembangunan dan pengembanganya dilibatkan pula masyarakat sekitar sebagai salah satu peran penting. Hal ini tentunya akan memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar dalam manajemen dan pembangunan pariwisata yang berujung pada pemberdayaan demokratis termasuk didalamnya pembagian keuntungan secara adil yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Selain itu, masyarakat juga berhak untuk menjaga dan melestarikan daya tarik wisata mereka. Hal ini bertolak belakang dengan kegiatan mass tourism yang seringkali mengabaikan peran masyarakat dan nilai-nilai yang ada di suatu daerah. 

Dengan diberdayakannya masyarakat lokal dengan kegiatan pariwisata maka diharapkan akan terjadi peningkatan taraf hidup komunitas tersebut. Dengan harapan untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan lain sebagainya community based tourism digadang-gadang sebagai solusi terbaik. Namun apakah akan menjadi semudah itu? 

Dalam penerapan konsep CBT, kendala yang seringkali ditemukan adalah masyarakat sekitar yang kurang rukun, aksesibilitas menuju daya tarik wisata yang kurang memadai, ilmu yang dimiliki masyarakat untuk mengolah daya tarik wisata kurang dan lain sebagainya. Disinilah peran dari pemerintah, civitas akademik, dan masyarakat luar dibutuhkan. Sebagai contoh saya ambil Air Terjun Sumber Pitu yang terletak di Kecamatan Tumpang, Malang. Sumber Pitu menurut saya merupakan sebuah atraksi wisata yang sangat menarik. Sumber Pitu memiliki alam yang indah, suasana yang tenang, dan masyarakat yang ramah. Namun mengapa tempat ini belum dikelola menjadi suatu community based tourism? Tentunya hal ini akan membantu masyarakat sekitar untuk lebih makmur bukan? Sayangnya tidak semudah itu untuk membangun sebuah komunitas. Dibutuhkan lebih dari sekedar dukungan saja untuk membangun CBT. Dalam pembangunan CBT dibutuhkan proses edukasi masyarakat, pembangunan akses menuju lokasi, pembangunan fasilitas pendukung yang tentu saja harus sesuai dengan lingkungan, dan tentu saja dana. Disini sebenarnya peran pemerintah dibutuhkan untuk meningkatkan tidak hanya kesejahteraan mereka, namun juga pendidikan mereka. Harus ada yang menggerakan masyarakat lokal untuk mau berubah menjadi lebih baik dalam mengelola potensi wisata yang mereka miliki. Meskipun terlihat sulit, namun bukan berarti mustahil. Disini peran civitas akademik dibutuhkan untuk menjadi motor penggerak yang dapat membantu masyarakat lokal mengembangkan potensi wisatanya melalui jalan edukasi. Diharapkan pemerintah dan civitas akademik akan terus  mencari potensi yang dimiliki masyarakat lokal untuk dijadikan suatu daya tarik wisata untuk membantu meningkatkan taraf hidup mereka. Lalu bagaimana kita dapat melihat apakah community based tourism ini akan sustain untuk jangka panjang? Bukankah itu merupakan salah satu tujuan sustainable tourism

Seperti kita tahu dalam suatu proses pengembangan usaha yang bertujuan menghasilkan profit, terkadang ditemukan pihak tertentu yang memiliki kepentingan dibalik niat baik mereka. Hal ini juga terkadang terjadi dalam proses pengembangan CBT, entah itu dari masyarakat luar yang ikut berkontribusi ataupun dari masyarakat lokal sendiri. Hal ini lah yang menjadi ancaman untuk keberlangsungan suatu community based tourism. Solidaritas dari masyarakat lokal menjadi hal utama dalam keberlangsungan hidup CBT. Karena tumpuan hidup dari CBT tidak lain adalah masyarakat lokal itu sendiri. Mereka berperan penuh dalam proses pembangunan dan pengembangan CBT. Layaknya roda gigi yang saling terkait dan saling menghubungkan, apabila salah satu dari roda gigi tersebut bermasalah maka akan mempengaruhi performa keseluruhan. Sehingga, untuk dapat membangun suatu CBT yang sustain untuk jangka waktu yang panjang tentunya solidaritas yang baik dari masyarakat lokal akan menjadi poin penting. Terlepas dari berbagai kekurangan yang dimiliki oleh suatu CBT, masyarakat lokal yang bergerak didalamnya harus mampu bergerak secara demokratis, menggunakan pendekatan musyawarah mufakat untuk memecahkan berbagai masalah yang ada. Hal ini terkait dengan pembagian kerja, pembagian keuntungan yang didapat, dan perawatan serta pelestarian daya tarik wisata mereka. Lalu dengan adanya CBT, bagaimana dengan kerusakan sosial dan lingkungan yang terjadi karena adanya kegiatan wisata ditempat mereka? Tentunya dengan adanya kegiatan wisata dan juga peningkatan taraf hidup masyarakat, hal ini tidak dapat dipungkiri akan terjadi. Masyarakat yang sebelumnya hidup guyub rukun dan selalu bergotong royong, kini menjadi masyarakat individualis yang berkumpul hanya untuk alasan berdiskusi mengenai Desa Wisata mereka. Belum lagi kerusakan lingkungan yang terjadi akibat adanya kegiatan wisata, dimana dengan meningkatnya taraf hidup, maka masyarakat akan menjadi lebih konsumtif, dan juga kerusakan lingkungan yang disebabkan wisatawan yang datang ke lokasi dapat menjadi masalah tersendiri yang harus mereka hadapi.

Jadi, apakah community based tourism akan menjadi jawaban atas permasalahan yang ada atau malah akan menciptakan permasalahan baru? Menurut saya, community based tourism bukanlah solusi yang absolut untuk permasalahan yang ada, namun sebagai solusi terbaik yang ada untuk saat ini. Meskipun tidak dapat menghilangkan permasalahan yang ada, konsep community based tourism ada untuk setidaknya mengurangi dampak negatif akibat kegiatan pariwisata. Terkait dengan permasalahan yang akan terjadi dalam pengelolaan dan pengembangan CBT, akan kembali lagi pada peran edukator untuk membantu masyarakat lokal dalam menjalankan kegiatan wisata mereka. Tidak hanya itu, solidaritas masyarakat lokal juga akan turut andil dalam pemecahan masalah-masalah baru yang timbul. Mungkin saja dengan adanya berbagai masalah yang muncul tidak hanya akan mengedukasi masyarakat lokal, namun dapat memunculkan inovasi baru. 


Daftar Pustaka :
  1. Arifin, Anindya Putri Raflesia. 2017. “PENDEKATAN COMMUNITY BASED TOURISM DALAM MEMBINA HUBUNGAN KOMUNITAS DI KAWASAN KOTA TUA JAKARTA” dalam Jurnal Visi Komunikasi, Volume 16, No.01. Jakarta:Universitas Mercu Buana.
  2. Hausler, Nicole & Strasdas, Wolfgang. 2003. Training Manual For Community Based Tourism. InWEnt, Zschoutau
  3. https://comdev.binus.ac.id/pengertian-dan-jenis-jenis-komunitas-menurut-ahli/ Diakses pada 6 Oktober 2020
  4. https://www.who.int/healthpromotion/conferences/7gchp/track1/en/#:~:text=%22Communities%22%20are%20groups%20of%20people,with%20specific%20or%20broad%20interests. Diakses pada 4 Oktober 2020
  5. Purnamasari, Andi Maya. 2011. “PENGEMBANGAN MASYARAKAT UNTUK PARIWISATA DIKAMPUNG WISATA TODDABOJO PROVINSI SULAWESI SELATAN” dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 22 No. 1. Bandung: Institut Teknologi Bandung.


EDITOR : YANU

Exit mobile version