Tulisan ini menjadi Juara 1 kompetisi Travel Writing di Expose Tourism Competition 2020
Tahun 2020 menjadi tahun yang kelam untuk saya. Saat di mana pertama kali merasakan hidup di tengah pandemi mematikan akibat virus COVID-19. Sejak awal tahun 2020 hingga kini pada bulan September 2020 ketika cerita ini dibuat, telah banyak korban jiwa di seluruh dunia akibat pandemi ini. Hal tersebut menimbulkan ketakutan bagi masyarakat, ditambah lagi tidak sedikit media yang menyiarkan berita menakutkan tentang COVID-19. Kondisi ini berpotensi meningkatkan ketakutan manusia sehingga menurunkan kesehatan khususnya mental dan imunitas tubuh, serta secara tidak langsung menjadi peluang terpaparnya virus. Bahkan seluruh dunia mengalami hal yang sama, berperang dengan kejamnya pandemi COVID-19 yang sudah tidak diragukan lagi.
Akibat pandemi ini, sudah beberapa bulan terakhir saya dipaksa berdiam diri di rumah (stay at home). Sebagai insan sosial saya merasakan kejenuhan yang mendalam akibat berdiam di rumah dalam waktu lama tanpa adanya interaksi dengan sesama dan lingkungan alam. Kondisi tersebut menggerakan hati saya agar segera beranjak dari rumah mencari pengalaman baru untuk menenangkan hati yang gelisah ini. Rumah saya terletak di salah satu daerah tujuan wisata terbaik dunia, yakni Pulau Dewata Bali, tepatnya di desa seni budaya Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Berasal dari daerah tujuan wisata memberikan semangat tersendiri bagi saya untuk selalu menemukan surga terpendam dengan mengunjungi tempat-tempat menakjubkan yang belum pernah saya datangi sebelumnya.
Pandemi COVID-19 ini justru memotivasi saya merealisasikan semangat untuk menemukan surga yang terpendam tersebut. Berbekal sedikit informasi dari seorang teman dari kecamatan Tegalalang. “Weh De! ditu di Desa Taro ada telaga tongos mandus melah gati ane madan Lembah Bidadari”, ucap teman dekat saya sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama dengan bahasa Bali lokal dalam saluran telepon. Dalam bahasa Indonesia berarti “Hai De! Di sana di Desa Taro ada telaga pemandian yang sangat indah bernama Lembah Bidadari”. Mendengar nama Lembah Bidadari membuat saya mengimajinasikan sebuah tempat yang indah di kayangan tempat di mana para bidadari mandi, “hehehe” sambil tertawa genit di dalam hati.
Agar tidak menghayalkan bidadari saja, saya memutuskan untuk membuktikan perkataannya dan merencanakan berangkat ke Desa Taro. Setelah mendapat kabar tersebut, segera saya hubungi dua sobat travel (sahabat perjalanan) melalui group call (panggilan bersama) via aplikasi Line. “Heyoo Aa dan Ke (panggilan akrab saya untuk mereka) besok berangkat yuk ke tempat bidadari mandi di Lembah Bidadari Desa Taro!” lugas saya dengan semangat. Mereka pun tertawa terbahak-bahak setelah mendengar bahwa besok kami akan mencari tempat bidadari mandi. Pada akhirnya kami bertiga sepakat untuk meluncur ke Desa Taro.
Keesokan harinya, Kamis, 9 September 2020 pukul 10.30 WITA kami menuju Desa Taro mengendarai sepeda motor dan tidak lupa mengenakan masker serta hand sanitizer cerminan protokol kesehatan yang utama. Sebelum berangkat, saya menyempatkan diri untuk mencari informasi tentang desa ini melalui situs resmi Desa Taro (desa.taro.id). Desa Taro adalah salah satu desa tua di Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar yang merupakan tonggak sejarah konsep desa tradisional di Bali. Beragam keunikan dan kultur, baik dari nilai budaya, kesenian, adat istiadat, dan pesona alam terkandung di desa ini. Melalui semangat masyarakat setempat ditambah dengan adanya Pokdarwis (kelompok sadar wisata) semua potensi keberagaman tersebut dikelola secara saksama khususnya untuk kelestarian dan kesejahteraan masyarakat serta lingkungan hidup Desa Taro.
Salah satu bukti kekayaan budaya di desa ini adalah terdapat pura besar yang bernama Pura Gunung Raung. Pura Gunung Raung mengandung nilai kentalnya kebudayaan, adat istiadat khususnya asal mula masyarakat agraris dan kesenian Desa Taro. Hal unik dan menarik lain yang sekaligus menjadi ikon Desa Taro adalah Lembu Putih atau sapi albino. Lembu putih yang hidup di Desa Taro disakralkan dan depercaya jelmaan Nandini sang lembu putih kendaraan Dewa Siwa dalam mitologi Hindu. Hebatnya lagi, karena keunikan budaya dan lingkungan hidupnya, Desa Taro berhasil meraih penghargaan Kalpataru kategori penyelamat lingkungan pada tahun 2018. Setahun kemudian, pada 2019 juga berhasil membuktikan keunggulan pariwisatanya dengan meraih juara nasional Lomba Desa Wisata Nusantara Tahun 2019.
Informasi di atas memberikan keyakinan bahwa Desa Taro tidak akan mengecewakan hati yang gelisah ini. Berpedoman pada google maps (aplikasi online penunjuk arah) keberangkatan menuju Lembah Bidadari harus menempuh jarak sejauh 22 (dua puluh dua) kilometer ke arah utara Desa Peliatan yang ditempuh sekitar 40 (empat puluh) menit. Beruntung saat perjalanan alam semesta merestui kami, dengan diiringi cuaca yang cerah berawan kami pun tancap gas menuju Desa Taro. Suasana tidak biasa saya temui di sepanjang perjalanan, di mana jalanan di Bali yang biasanya ramai dengan antrean bus pariwisata dan sorakan pramu wisata yang sedang memandu wisatawan kini redup terdengar. Jalanan masih sepi kendaraan akibat pariwisata Bali ditutup selama pandemi. Di sisi lain, kondisi tersebut memberikan saya ketenangan ditambah udara menjadi lebih bersih dan segar. Di sepanjang perjalanan saya disuguhi hamparan terasering sawah yang luas nan hijau di sisi kanan jalan raya, tepatnya ketika melewati destinasi wisata Ceking Rice Terrace Tegalalang.
Dari jalan raya utama di Tegalalang, saya harus menyusuri jalan desa yang cukup kecil untuk mencapai Desa Taro. Ketika sudah sampai di sisi timur Desa Taro, kami disambut dengan hamparan hutan bambu yang berbaris rapi di pinggir jalan seolah-olah memberi semangat untuk terus maju. Sekitar 5 (lima) menit menyusuri hutan bambu dan akhirnya sampai di kawasan Pondok Sangaji Banjar Taro Kelod, banjar di mana Lembah Bidadari itu berada. Banjar sendiri merupakan sebutan khas untuk bagian dari desa di Bali yang setara dengan RW (rukun warga) di daerah lain. Pondok Sangaji terletak cukup jauh di barat jalan raya utama kecamatan Tegalalang. Ketika pertama kali memasuki Pondok Sangaji mata saya dimanjakan oleh hamparan persawahan dan perkebunan jeruk yang tersusun rapi di sepanjang jalan dan diselingi dengan rumah sederhana masyarakat setempat.
Setelah memasuki Pondok Sangaji, saya memutuskan untuk istirahat sejenak dan memberhentikan kendaraan tepat di sebelah kebun jeruk dengan barisan pohon kelapa dan tebu yang memagarinya. Di kebun tersebut tampak 2 (dua) orang warga yang sedang membersihkan kebun jeruk dari tumbuhan hama. Saya pun menghampiri mereka untuk menanyakan keberadaan Lembah Bidadari tersebut. “Om Swastyastu, Rahajeng siang Mek sinampura ngugul niki, driki seken wenten genah mesiram sane mewasta Lembah Bidadari nggih?” (Selamat siang Bu mohon maaf mengganggu, di sini benar ada pemandian yang bernama Lembah Bidadari?), tanya saya penuh hormat.
Sejujurnya saya merasa cemas dan takut, di saat pandemi seperti sekarang anggapan saya banyak masyarakat yang menolak kedatangan masyarakat dari luar lingkungan mereka. “Om Swastyastu Gus, Sampun nampek nika, riki pun margine lurus manten ngelodan, malebos nepukin margi cenik di sisi kiri nika pun tuuten. Telaga e beten pangkung genahne. Elingan alon-alon ring gumi e mangkin nggih gus!” (Tempatnya sudah dekat, dari sini jalannya lurus saja ke selatan, nanti ada jalan setapak di sebelah kiri ikuti jalan itu. Telaga ini letaknya di bawah jurang. Ingat waspada saat kondisi dunia seperti ini ya Nak!), jawab salah seorang warga sembari tersenyum ramah. Hal tersebut mematahkan anggapan saya, selain memberi tahu dengan jelas dan ramah mereka juga berpesan untuk selalu berhati-hati. Kami memohon izin untuk memarkirkan kendaraan di sebelah kebun jeruk mereka. Saya memutuskan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, mengingat jalan selanjutnya yang kecil dan penuh tanah tidak bisa dilalui menggunakan sepeda motor.
Kaki kami melangkah pelan menyusuri jalan setapak sembari menikmati segarnya udara dan indahnya alam Sangaji yang didominasi hijaunya hutan, persawahan, dan perkebunan. Sesampainya di ujung atas jurang yang dikatakan warga tadi, rasa takut pun mulai menghampiri karena lebatnya hutan di sekelilingnya. Hingga muncul pertanyaan dalam diri saya, apakah benar bidadari suka mandi di tempat seperti ini? Akan tetapi, komitmen lebih besar daripada rasa takut tersebut. Dengan semangat saya tetap menuruni jurang dengan kewaspadaan penuh. Perlahan namun pasti kami bertiga saling berpegangan menuruni jalanan sempit yang dihiasi semak belukar. Perjalanan ternyata tidak semudah itu, saya juga harus melewati medan yang terjal dan pohon aren yang tumbang melintang di hadapan saya. Setelah berjalan selama kurang lebih 10 (sepuluh) menit dan semakin turun ke bawah suara gemericik air mulai terdengar.
Tampak genangan air yang berkilauan dan saat mendekati genangan itu, seketika itu pula saya tercengang dengan apa yang ada di depan mata. “Wah inikah Lembah Bidadari!” ucap saya sembari menghela napas. Genangan air yang tadinya terlihat biasa ternyata adalah telaga yang sangat indah. Telaga itu berbentuk persegi dengan enam pancuran air yang keluar dari sela-sela batuan tebing. Air di telaga ini sangat jernih dan berasal dari sumber mata air alami. Bahkan dasar telaga dapat terlihat dengan mata telanjang. Terdapat juga dua jalan keluar air menuju sungai besar yang tepat berada di sebelah timur telaga ini. Panca indra saya seakan menjadi raja di sini, dimanjakan dengan berkilaunya air telaga, gemericik air pancuran yang berjatuhan, aliran air sungai yang menerjang bebatuan, paduan suara burung yang menyambut kami, serta selimut hijau pepohonan yang terhampar di sekeliling telaga ini.
Sungguh menakjubkan! Lembah Bidadari ini bagaikan surga di bumi maha karya seni alam semesta yang tidak ternilai dengan angka. Seakan ada magnet yang menarik jasmani untuk segara merasakan sensasi Lembah Bidadari ini. Sebelum itu saya mencari tempat kering di pinggir telaga untuk meletakkan barang bawaan sembari memantau keamanan tempat ini. Tanpa pikir panjang, saya langsung membuka baju dan tidak lupa memakai celana. Pelan namun pasti kaki melangkah masuk dan merasakan kedalaman dari telaga tersebut. Betapa terkejutnya jasmani ini merasakan kesegaran sumber mata air Lembah Bidadari yang tiada tanding, ditambah pijatan bebatuan kecil yang menjadi alasnya. Ternyata telaga ini ketinggiannya hanya sampai di perut saya.
Anugerah yang sangat luar biasa sebagai manusia dapat melihat surga nan indah ini. Lokasinya yang sangat alami di bawah jurang memberikan pengalaman yang sangat mengesankan. Kegelisahan hati akibat mencekamnya kondisi pandemi seakan menghilang dari peradaban. Dengan penuh semangat dan riang gembira saya melanjutkan untuk berenang dari ujung utara ke selatan. Beragam gaya saya perlihatkan ke pada dua sobat travel saya bak atlet renang yang sedang berlatih di private pool (kolam berenang pribadi). Niat hati membawa kacamata berenang, namun apa daya saya tidak punya, dan akhirnya kacamata hitam sebagai gantinya. Walaupun tidak sesuai digunakan untuk berenang, tetapi lumayan untuk bergaya di depan kamera. Momen yang sangat berharga ini tidak lupa diabadikan melalui kamera ponsel.
Walaupun pada akhirnya tidak menemukan bidadari mandi, hal itu tidak membuat saya kecewa. Saya tetap merasa bersyukur bisa menemukan surga nan indah bernama Lembah Bidadari ini. Riang gembira saya rasakan diiringi beban pikiran dan kegelisahan hati yang menghilang. Pesona Lembah Bidadari memberikan rasa rileks dan seakan menyuntikan kekuatan yang meningkatkan imunitas tubuh ini. Hal ini membuktikan bahwa alam yang menawarkan keindahan dan kealamiannya dapat menjadi vitamin alami untuk badan jasmani dan juga rohani. Setelah bercanda dan bergurau bersama dua sobat travel saya di dalam telaga, tidak terasa matahari mulai bersinar terik. Saya pun beranjak ke pinggiran telaga untuk mengeringkan tubuh dan berganti pakaian. Kami menyempatkan membersihkan sampah bungkus rokok dan makanan yang tercecer di sela-sela rerumputan pinggiran telaga. Melihat sekeliling sudah bersih, maka saatnya saya berpamitan kepada Lembah Bidadari ini. “Terima kasih atas sambutanmu dan jangan lelah menunggu kedatanganku di lain waktu,” seru saya sembari mengawali langkah menaiki jurang untuk pulang.
Perjalanan menuju Desa Taro hingga menemukan Lembah Bidadari mengajarkan saya betapa besarnya manfaat alam yang kadang tidak kita sadari. Alam itu ibarat Toserba (toko serba ada). Apapun yang manusia butuhkan disediakan oleh alam, mulai dari makanan, lapangan pekerjaan, bahkan obat alami untuk kesembuhan pun tersedia. Akan tetapi semua itu tidak cuma-cuma, ibarat toko maka harus ada yang dibayarkan oleh manusia. Bukan pembayaran berupa uang tunai, tetapi harus dibayar dengan tanggung jawab untuk menjaga dan merawat kelestarian alam. Sejatinya alam ini bukanlah objek untuk dieksploitasi demi kepentingan manusia semata. Dalam kondisi apapun alam ini adalah subjek yang berperan besar dalam keberlangsungan peradaban manusia. Maka dari itu jadilah wisatawan yang elegan dengan menjaga alam.
EDITOR/KURATOR : Tim Expose Tourism Competition 2020