Halo sobat Voluptarians. Aku mau berbagi cerita sedikit nih tentang perjalananku dan kawan-kawanku ke Kawah Ijen. Sebenarnya Kawah Ijen merupakan satu dari beberapa destinasi yang kami kunjungi, tapi karena cerita yang sedikit menarik hanya sewaktu di kawah ijen, maka yang lain tak perlu ku ceritakan lah ya.
Kala itu, November 2019 (tanggalnya lupa), aku dan teman-teman kuliah berangkat ke Banyuwangi untuk studi. Rombongan kami berjumlah kurang lebih 20-an orang (sudah termasuk tiga kru dari travel agent). Singkat cerita, setelah melalui perjalanan panjang dan mampir ke salah satu destinasi lokal di Situbondo, sampailah kami di basecamp rumah milik warga di Banyuwangi. Jam di HP telah menunjukan lebih dari pukul sepuluh malam. Aku memutuskan untuk langsung mandi dan segera beristirahat karena dini harinya kami akan pergi ke basecamp Kawah Ijen.
Pukul 01:00, kami dibangunkan untuk persiapan menuju ke basecamp Kawah Ijen yang masih ditempuh kurang lebih satu jam. Setelah segala persiapan selesai, kami pun berangkat, namun karena waktu tidurku yang masih belum cukup, di sepanjang perjalanan aku pun hanya terlelap tanpa peduli canda tawa teman-temanku. Pukul 02:15 sampailah kami di basecamp pendaki Kawah Ijen. Kami diberi persiapan lagi sekitar lima belas menit sebelum memulai tracking ke Kawah Ijen. Basecamp kala itu terasa amat dingin, sehingga aku dan salah seorang teman memutuskan untuk mencari minuman penghangat untuk menemani perjalanan kami. Dalam pencarian ini, kami tidak menemukan minuman yang diinginkan, sehingga kami putuskan untuk membeli minuman lokal yang di kemas dalam botol-botol plastik berukuran tanggung.
Sebelum pendakian dimulai, kami membagi rombongan menjadi tiga tim. Rombongan pertama diisi oleh orang yang jalannya paling cepat, rombongan kedua diisi orang yang jalannya santai, dan rombongan ketiga diisi orang yang merelakan diri untuk menjadi tim sapu bersih guna memastikan tidak ada yang tertinggal. Aku pun memutuskan untuk berjalan di rombongan paling belakang, bukan karena tugas mulia menjadi tim sapu bersih, melainkan berat badan yang sangat membebani tulang dan ototlah yang memaksaku untuk berada di tim sapu bersih.
Rombongan terakhir terdiri atas empat orang, aku sendiri, dan dua teman yang memilih di belakang, serta satu teman yang kurang lebih ketahanan fisiknya gak beda jauh lah denganku. Lima belas menit pertama perjalanan berjalan dengan mulus, sambil menikmati suasana gelap pendakian serta sedikit demi sedikit meneguk minuman penghangat. Kami berjalan sembari bergurau, sampai lima menit berikutnya mulai terasa kakiku sudah agak berat untuk diajak melangkah, begitupun dengan satu temanku tadi. Kami istirahat sejenak sambil memikirkan bagaimana caranya kita tetap berjalan tanpa terlalu memaksa tubuh. Terbesit ide dalam benakku untuk menggunakan ojek gerobak dari warga sekitar yang lalu lalang, tetapi karena gak mau terlihat lemah dan memang tidak bawa uang banyak (harganya lumayan, bisa buat makan di kos tiga minggu) akhirnya tidak jadi. Lalu muncul ide untuk mengatur ritme langkah kami. Setiap 25 langkah, kami istirahat tiga puluh detik, dan seterusnya. Di tengah-tengah perjalanan yang berat ini, kami bertemu dengan dua orang teman kami dari rombongan sebelumnya. Ternyata salah satu dari teman kami ini ada yang sedang sakit sehingga mereka berdua memutuskan untuk beristirahat sambil menunggu rombongan terakhir menyusul. Kami kemudian rehat lagi sembari bertanya mengenai kondisinya, apakah Ia masih mau melanjutkan perjalanan. Kami berlima menyarankan dia untuk kembali saja, tetapi dia tetap memaksa untuk naik sehingga kami sepakati untuk terus berjalan dan menyesuaikan lagi ritme dengan ritme yang sakit. Perjalanan terasa sangat lambat, dan karena itu pula salah satu dari rombongan belakang memutuskan untuk jalan duluan, meninggalkan kami berlima yang jalannya memang sangat lambat. Setelah kurang lebih lima belas menit, ternyata teman kami yang sakit tidak bisa melanjutkan perjalanan lagi. Maka dari itu, kami sepakati bahwa tiga dari kami mengantar turun dan satu orang tetap melanjutkan perjalanan, dan ya bisa ditebak, bukan aku yang melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi bukan karena tugas mulia tetapi memang fisikku yang juga tidak bisa dipaksa (yaelah lemah bet jadi jantan).
Setengah jam berlalu, waktu yang cukup untuk kami berempat beristirahat mempersiapkan langkah kami menuju basecamp di bawah. Kami mulai turun lagi perlahan-lahan sambil terus memonitor kondisi kesehatan teman kami. Baru lima menit berjalan, ternyata teman kami sudah benar-benar tidak kuat lagi untuk melangkah sehingga kami putuskan menggunakan ojek gerobak untuk teman kami ini. Awalnya dia tidak mau karena dia tidak bawa uang, tetapi kami bertiga memaksanya untuk naik ojek gerobak dan biaya ditanggung oleh kami bertiga, dan kebetulan yang bawa uang cuma aku jadi ya pakai uangku terlebih dulu nanti sampe bawah baru diganti (meskipun sampai tulisan ini dibuat juga belum diganti sih). Setelah teman kami ini dibawa oleh babang ojek, kami pun juga segera menyusulnya untuk turun ke basecamp. Total 45 menit kami habiskan untuk perjalanan turun. Sesampainya di bawah, kami menuju warung untuk makan sembari beristirahat menunggu seluruh rombongan turun dari puncak. Puncak yang tak sempat kami berempat nikmati.
EDITOR : FIFI