Tulisan ini menjadi Juara 2 kompetisi Travel Writing di Expose Tourism Competition 2020
Langit jingga kemerahan bersama matahari yang baru bangun pagi itu menyambutku seolah tersenyum dan mengatakan, “Selamat datang! Nikmatilah kecantikanku hari ini!”. Awan-awan seperti gula kapas yang hilir mudik seolah sedang saling berkejaran di hadapanku ditambah segarnya mata ini menatap hijaunya pepohonan. Di atas ketinggian 1.717 mdpl, hatiku bergumam, “Benarkah apa yang aku pijak ini berada di bumi? This… is incredible!”. Begitulah yang aku rasakan, mungkin semua orang yang datang ke sini pun, saat berhasil menapakkan kaki di puncak yang cantiknya luar biasa. Belum lagi, ketika berhasil menuju puncak tepat pada hari lahirnya kemenangan melawan penjajahan, Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, rasa kagum dan bahagia seakan meningkat berkali lipat.
Halo! Sebelum aku melanjutkan celotehan tentang perjalananku, perkenalkan, aku Amel. Aku merupakan mahasiswi aktif yang saat ini duduk di bangku semester 5 Politeknik Pariwisata Bali. Rasanya, traveling sudah menjadi bagian dari denyut nadiku. Aku selalu menjadikan kegiatan tersebut sebagai pilihanku di saat memiliki waktu luang di tengah kegiatan akademis dan organisasi yang terkadang membuatku penat. Terlebih, aku tumbuh dan hidup di Pulau Dewata, yang tak akan ada habisnya untuk dijelajahi. Aku sedang berusaha kembali kepada kenangan 3 tahun lalu, saat di mana aku pertama kalinya menapakkan kaki pada salah satu mahkotanya Pulau Bali, yakni Gunung Batur. Saat itu, 2 hari sebelum hari kemerdekaan Indonesia ke-72, teman- temanku di sekolah sedang sibuk membahas kegiatan mendaki bersama yang diadakan oleh ekstrakurikuler Siswa Pencinta Alam, yang bernama Bhuana Yasa di sekolahku, dalam rangka hari kemerdekaan Indonesia. Aku yang awalnya tak pernah terpikirkan untuk mendaki seumur hidupku, akhirnya tertarik karena salah satu temanku yang sudah pernah menginjakkan kaki di puncak 1.717 mdpl itu memberi testimoninya mengenai betapa indahnya pertunjukan alam yang akan dapat dinikmati dengan mata telanjang di atas si punuk yang tertidur satu itu. Memang, ya, strategi promosi words of mouth itu mematikan! Haha.
Hari itu, sebelum memutuskan untuk benar-benar melakukan kegiatan pendakian, tentu banyak hal yang perlu aku pertimbangkan dan persiapkan. Terlebih karena saat itu merupakan ekspedisi pendakian perdanaku, persiapan matang yang mendetail sangat dibutuhkan agar aku dapat menikmati perjalanan eksklusifku lebih baik lagi.
Yang pertama, saat itu aku menanamkan di kepala bahwa kesiapan fisik adalah kunci utamanya. Normalnya, seseorang perlu melakukan latihan fisik selama 2 minggu menuju pendakian. Walaupun Gunung Batur tergolong gunung yang rendah, dengan ketinggian yang hanya 1.717 mdpl, tetap saja bagiku tanpa rutinnya aku mengikuti latihan klub basket di sekolah, rasanya mustahil aku mampu sampai di puncaknya. Kesehatan tubuh juga sangat perlu diperhatikan, seperti misalnya flu dan demam, yang akan sangat membebani diri sendiri dalam proses pendakian.
Yang kedua, aku memastikan perlengkapan mendaki yang kumiliki sudah mendukung. Perlengkapan ini, sih, sebenarnya bervariasi, tergantung kebutuhan masing-masing individu. Namun, perlengkapan yang mendukung versiku adalah sepatu olahraga yang kokoh dengan sol yang masih baik untuk menghindari kemungkinan tergelincir, pakaian serba panjang untuk mencegah hipotermia saat berada di puncak, dan tidak lupa obat-obatan, air mineral, mie instan, handuk kecil, dan roti tawar menjadi pilihanku untuk mengisi ranselku. Oh, iya! Sebagai masyarakat Hindu-Bali, tidak lupa aku membawa canang dan dupa untuk aku haturkan dalam proses persembahyangan di starting point.
Yang ketiga, aku berusaha mencari tahu lebih jauh mengenai jalur yang akan aku lalui, baik itu jalur dari kediaman kami hingga ke Gunung Batur, maupun jalur yang akan ditempuh dari starting point menuju puncak. Nah, dalam rangka familiarisasi diri dengan jalur yang akan ditempuh, aku menggunakan aplikasi Google Maps serta Waze, tidak lupa juga aku membaca beberapa kisah perjalanan pendakian menuju Gunung Batur yang ada di internet. Kebetulan, saat itu aku mendaki bersama rombongan teman-teman Sispala, yang mana mendaki Gunung Batur kali itu sudah menjadi kegiatan berulang yang mereka lakukan. Hal tersebut memudahkan aku dalam mempelajari jalur yang akan aku lalui.
Singkat cerita, perjalanan saat itu sangat sederhana. Keberangkatanku dari rumah hanya berbekal selembar kertas biru yang aku tukarkan menjadi canang dan dupa, air mineral, roti tawar, mie instan, dan sisanya aku simpan untuk persiapan makan siang di perjalanan pulang. Harapanku saat itu hanya 1; dapat menikmati setiap pergerakan sendiku dengan selamat menuju puncak Gunung Batur bersama sahabat-sahabatku. Ditambah lagi, kesaksian temanku yang mengatakan Gunung Batur tidak akan menghabiskan banyak energi. “Gampang, ah!”, tuturnya, membuat aku semakin percaya diri. Namun ternyata, perjalanan 2,5 jam menuju puncak membuktikan padaku bahwa frase tersebut tidak berlaku bagiku.
Pada 16 Agustus 2017, pukul 11 malam waktu Indonesia tengah, aku bergegas menuju titik kumpulku dengan teman-teman. Aku dan teman-temanku berangkat pukul 00.30 WITA dari daerah Denpasar Utara dan melalui jalur umum menuju Gunung Batur, yakni Ubud-Kintamani. Selama dalam perjalanan, aku sangat menikmati sunyinya jalan dini hari. Beberapa kali aku berdiri menembus sunroof yang dapat dibuka di mobil temanku tersebut. Rasanya seperti sedang terbang dengan kecepatan tinggi yang membuat pikiranku sangat tenang. Perjalanan dengan kendaraan roda empat tersebut hanya memakan waktu 1 jam 45 menit, yang menurutku sangat singkat. Karena saat itu sudah sangat larut, tidak banyak pemandangan indah yang dapat aku nikmati, sehingga harapanku hanyalah agar segera tiba di lokasi starting point pendakian Gunung Batur. Sekitar pukul 02.15 WITA, harapanku terwujud.
Setiba kami di titik keberangkatan pendakian, aku dan teman-teman bergegas menggunakan toilet umum terlebih dahulu. Kami sangat menghindari kemungkinan harus buang air kecil di tengah pendakian. Rasanya, seperti akan mengotori gunung tersebut! Hahaha. Selanjutnya, kami melakukan persembahyangan bersama, memohon keselamatan dan meminta izin untuk melanjutkan perjalanan kami kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Akhirnya, kami mulai melangkahkan kaki, memasuki gapura yang menyambut kami memulai perjalanan pendakian. Perasaanku saat itu sungguh bahagia, karena aku sangat menantikan momen perdana berada di puncak Gunung Batur, yang saat itu rasanya sangat jauh dari genggamanku.
Aku dan teman-teman berangkat melalui titik keberangkatan Pura Jati Luhur, tepat pukul 03.00 WITA. Kami berjalan dengan puluhan pendaki lainnya yang juga ingin merayakan kemerdekaan Indonesia di puncak Gunung Batur. Beberapa kali aku dan teman-temanku bernyanyi bersama pendaki lain untuk meramaikan dan menyemangati diri sendiri dalam perjalanan panjang yang kami tempuh. 30 menit pertama pendakian, aku melepas seluruh pakaian tambahanku seperti jaket, kupluk, dan sarung tangan. Gerah sekali! Aku bercucuran keringat karena memang suhu di kaki gunung tidak terlalu dingin, ditambah lagi pergerakan tubuh yang semakin cepat. Beberapa kali teman-temanku mengajakku untuk berlari selagi track masih belum curam.
Dalam perjalanan, beberapa kali kami berpapasan dengan beberapa orang yang mengendarai sepeda motor di jalur pendakian. Saat itu, aku terheran-heran, karena aku melihat mereka membawa tabung gas maupun peralatan berdagang yang dibawa dengan tangan kiri, dan tangan kanannya mengendalikan laju sepeda motor. Namun tutur temanku, para pedagang tersebut sudah terbiasa mengendarai sepeda motor menuju pos di dekat puncak gunung, karena jalurnya masih memungkinkan ditempuh dengan sepeda motor. Setelah dari pos itulah baru mereka akan berjalan kaki menuju puncak, seperti para pendaki lainnya.
Perjalanan menuju puncak sangatlah tricky dan membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi. Kami beberapa kali melalui jalur yang sangat licin, yang kalau tidak menaruh konsentrasi tinggi, akan dengan sangat mudah tergelincir. Beberapa kali aku terpeleset di jalur yang licin tersebut. Syukurnya, aku tidak tergelincir pasa jalur yang berjurang. Sembari sesekali beristirahat untuk meneguk air mineral, aku tidak lupa merekam video-video singkat bersama teman-teman untuk kenang- kenangan, sekaligus berlatih menjadi travel vlogger. Siapa tau, kan? Hahaha. Kami melanjutkan perjalanan yang semakin lama semakin curam. Di beberapa kesempatan, kami harus mengantre saking ramainya pendaki yang bergiliran berjalan pelan-pelan di jalanan yang cenderung terjal tersebut.
Setelah menghabiskan kurang lebih 2,5 jam mendaki Gunung Batur, akhirnya kami tiba pada penantian kami, puncak Gunung Batur! Saat itu, jam masih menunjukkan pukul 05.30 WITA. Masih ada sekitar 30 menit lagi bagi kami untuk beristirahat sebelum akhirnya pukul 06.00 WITA, kami bergegas memburu sunset dengan perlengkapan berfoto yang sudah kami siapkan. 30 menit tersebut ternyata merupakan 30 menit terburuk selama aku berada di atas Gunung Batur. Bagaimana tidak, suhu di puncak yang sangat jauh kecilnya dibanding suhu di Kota Denpasar, ditambah lagi matahari yang belum terbit serta tidak adanya pergerakan tubuh yang berarti membuatku rasanya akan mati kedinginan. Aku sempat tidak sadarkan diri selama kurang lebih 10 menit. Aku sungguh tidak ingat apa yang terjadi padaku saat itu. Yang aku ingat, teman-temanku kompak berteriak mengucap syukur saat aku membuka mata. Mereka segera memberiku segelas the hangat yang dibeli dari warung kecil sekitar puncak Gunung Batur. Sungguh momen yang sangat memalukan bagiku, karena ternyata akulah yang paling lemah diantara semua teman-temanku.
Tak lama kemudian, waktu menunjukkan pukul 06.00 WITA. Para pendaki sudah mengambil posisi berdiri dan banyak dari mereka yang menggenggam alat dokumentasinya untuk merekam betapa indahnya matahari terbit yang akan kami saksikan dengan ketinggian 1.717 meter di atas permukaan laut tersebut. Banyak pula dari para pendaki, termasuk aku dan teman-temanku, mengibarkan bendera merah putih yang kami bawa lengkap dengan tongkat ala kadarnya. Betapa terharunya aku, saat matahari mulai menunjukkan wujudnya. Seperti yang aku sampaikan di awal, ia bak mengajakku menikmati keindahannya saat itu. Aku merasa disambut dan dipersilakan mensyukuri keindahan alam yang tiada duanya tersebut.
Tidak lama setelah matahari terbit perlahan, seluruh pendaki menyangikan lagu Indonesia Raya. Air mataku tumpah pada momen tersebut. Bertapa tersentuhnya hatiku saat menyadari aku sedang merayakan merdekanya negeri ini kala itu, dengan disuguhkan keindahan alamnya yang menjadi warisan bagiku dan generasi selanjutnya. Momen mengharukan tersebut diakhiri dengan foto bersama yang aku dan teman-temanku lakukan. Aku menyaksikan dari puncak betapa indahnya kaldera Gunung Batur yang menyuguhkan kami pemandangan Danau Batur yang didampingi Gunung Abang dari kejauhan. Gunung Batur juga merupakan gunung dengan kaldera terluas di Indonesia, yang membuatnya menjadi gunung yang luar biasanya cantiknya. Kurang lebih, kami menghabiskan 2 jam berada di puncak dan lalu memutuskan untuk segera menuruni Gunung Batur agar dapat menikmati keindahan alam yang tidak dapat kami lihat saat mendaki menuju puncak.
Saat melakukan perjalanan turun, ternyata terasa jauh lebih sulit dari proses pendakian. Proses menyusuri Gunung Batur kembali ke starting point sangat membuat adrenalinku bergejolak. Aku orang yang sangat sulit menjaga keseimbangan dan sangat takut akan ketinggian mengalami kesulitan menuruni gunung dengan medan yang licin, bahkan beberapa jalur merupakan medan turunan dengan pasir halus yang membuatku memilih untuk menuruninya seperti sedang bermain perosotan. Alhasil, celanakulah yang paling kotor diantara rombongan kami. Namun, walaupun dengan sejuta ketakutan di dadaku saat turun dari puncak Gunung Batur, aku terhibur dengan indahnya pemandangan dari atas gunung yang sangat memanjakan mata. Dari seluruh mata angin aku disuguhkan pemandangan yang menyehatkan mataku, yang sangat berbeda dengan pemandangan serba gedung yang aku temui sehari-hari di Kota Denpasar. Ah, rasanya tidak ingin cepat-cepat meninggalkan Gunung Batur!
Setelah menyusuri jalan turun sekitar 1 jam, aku dan seorang temanku tertinggal rombongan karena aku yang begitu lambat sehingga tersalip pendaki lain. Saat itu kami berusaha menghilangkan panik agar ingatan kami terhadap jalur yang kami lalui saat berangkat dapat terjaga dengan baik. Bayangkan, kami sempat berada di kondisi dimana kami sama sekali tidak ingat lagi jalur yang kami tempuh tersebut dan bahkan tidak ada satu orangpun berjalan beriringan dengan kami. Hanya doa yang terus kami panjatkan kepada Tuhan saat itu, dengan harapan ada keajaiban diberikannya kami ketepatan saat memilih jalan mana yang akan kami tempuh di tengah hutan belantara yang sunyi itu. Semakin lama, kami semakin familiar dengan medan yang kami lalui. Keyakinan kami terhadap jalur tersebut semakin kuat, hingga akhirnya kami sadar dan ingat sepenuhnya bahwa memang ternyata kami sudah berada di jalur yang tepat. Saat kami hampir sampai starting point, kami berpapasan dengan beberapa teman lain yang ternyata hendak membagi diri menyusuri Gunung Batur untuk mencari kami. Syukurlah saat itu segera dipertemukannya aku dan teman-temanku tersebut. Kuasa Tuhan memang tiada duanya.
Akhirnya, tibalah kami di starting point. Aku dan teman-teman melakukan istirahat dengan tidur di dalam mobil sekitar 30 menit, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan pulang. Petualanganku menjelajahi Gunung Batur pada 17 Agustus 2017 masih menjadi perjalanan wisata terbaik yang pernah aku lalui hingga saat ini. Mendaki gunung mengajarkanku banyak hal tentang kehidupan, sebagaimana aku mengalami musibah terus menerus saat berada di atasnya, dan dari kejadian tersebut aku belajar untuk menjadi sosok yang lebih tangguh dan mandiri.
Sedikit bercerita tentang warung yang dibuka di sekitar puncak Gunung Batur, sebenarnya ada pro dan kontra di dalam diri ini. Aku sedih melihat para pedagang tidak dapat menjaga kebersihan di sekitar warungnya dan bahkan terkesan mengacuhkan alam yang seharusnya dijaga tersebut. Sampah bumbu-bumbu mie instan, plastik bungkus kopi, dan masih banyak lagi jenis sampah bertebaran dengan berantakan di beberapa titik. Namun kalau dipikirkan kembali, tanpa pedagang-pedagang tersebut, mungkin aku akan drop lebih parah lagi karena tidak ada yang bisa memberiku minuman hangat. Dan aku yakin, banyak orang lain juga yang terselamatkan oleh para pedagang tersebut. Keadaan itu membuat aku aku berpikir, semoga suatu saat nanti aku dapat kembali ke Gunung Batur dengan kondisi yang lebih baik lagi, sehingga dapat melakukan kegiatan bersih- bersih lingkungan sepanjang perjalanan menuju puncak.
Gunung Batur menjadi salah satu bukti nyata bahwa Indonesia tidak hanya memiliki Bali dengan pantai serta water sport-nya. Lebih dari pada itu, Indonesia menyimpan banyak sekali keindahan alam yang merupakan anugerah yang dititipkan kepada kita. Sebagai generasi muda, merupakan hal wajib bagi kita untuk menjaga serta melestarikan warisan yang luar biasa ini. Suatu saat nanti, aku percaya bahwa pariwisata tidak akan hanya bertumpu pada Bali Selatan maupun Ubud semata, tapi juga dapat merata ke seluruh pelosok Bali, dengan peran aktif generasi muda yang mau mengeksplor kekayaan alamnya dengan bijak dan mempromosikan dengan baik. Semoga, ya!
EDITOR/KURATOR : Tim Expose Tourism Competition 2020
Leave a Reply