Wellness Tourism, Akankah Menjadi Mentari Setelah Pandemi?

Home / EksplorPedia / Wellness Tourism, Akankah Menjadi Mentari Setelah Pandemi?
Illustration : Voluptaria/Transme
Pada Mulanya

2020 merupakan tahun kembar yang penuh akan pesona. Tahun ini banyak sekali memberi kejutan akan hal-hal yang terjadi didalamnya, seolah kita tak sanggup untuk menghela nafas sejenak. Hilir mudik media menyiarkan hiruk pikuk problematika yang ada. Ekonomi berteriak karena ia merasa tercekik serta tak sanggup bernafas lega, begitu pula dengan kesehatan, ia berteriak paling lantang diantara semuanya, ia juga menentang ekonomi karena baginya, ekonomi lah yang saat ini paling menderita oleh kekacauan yang ditimbulkan tahun kembar yang memiliki angka cantik namun penuh ironi. Sebagai lakon yang berperan, ibarat seorang dalang dalam pewayangan, manusia sungguh dibingungkan oleh realita saat ini. Adu penderitaan akan realitas yang muncul juga tak terelakkan. Selain penderitaan, sebagai manusia yang melakoni tahun ini kata “prioritas” ibarat menjadi berlian mewah langka yang diperebutkan oleh seluruh umat manusia. Ekonomi dan kesehatan memperdebatkan mana dari mereka yang layak untuk menyandang dan memiliki berlian tersebut. Dan hingga kini, samar-samar terdengan kata damai dari kedua belah pihak, meskipun sesungguhnya adaptasi-lah yang menyatukan mereka kembali, adaptasi terhadap kondisi saat ini. Setelah mengerti bahwa adaptasi mampu membantu mereka untuk kembali sedikit demi sedikit menghirup nafas kembali, meskipun realitanya, kesehatan tetap masih belum menemukan titik terang solusi untuk problematika yang ia hadapi.

Sebagai salah satu lakon yang erat dengan kesehatan dan ekonomi, pariwisata benar-benar merasa hidup pada awalnya, ketika tahun angka kembar ini hadir, banyak sekali doa yang dipanjatkan, pariwisata seolah benar-benar mendapatkan banyak oksigen untuk bernafas dengan bebasnya. Namun hal tersebut tak bertahan lama, dua hingga tiga bulan setelah tahun ini datang, pariwisata mendapatkan sinyal bahwa ia seperti tak memiliki harapan hidup setelah ini, matahari seolah menarik diri untuk menyinari kami, sektor pariwisata. Seluruh pemain seolah dibuat meredup. Dengan hilangnya sinar mentari, pariwisata turut berhenti, lalu mati. Hal tersebut didukung dengan penurunan jumlah wisatawan, terutama wisatawan mancanegara serta wisatawan domestik yang turut tak bisa merasakan keindahan yang dimiliki oleh ibu pertiwi beberapa bulan terahkir ini. Pariwisata kehilangan nyawa internasionalnya sebesar 86,90% jika dibandingkan dengan dengan tahun lalu. Pada tahun 2019 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sejumlah 1.249.536, namun pada tahun 2020 hanya sebesar 163.646 kunjungan wisata mancanegara. Hal tersebut merupakan dampak signifikan dari hilangnya sinar mentari pada industri ini. Para lakon yang bermain pada industri pariwisata memang ketergantungan akan sinar mentari, dengan kondisi sinar mentari yang meredup, serta badai yang menerpa seluruh muka bumi bukanlah badai biasa, masalah yang ada tidak bisa disamakan dengan sebuah kerikil kecil yang mampu disingkirkan hanya dengan tiupan angin belaka.

Sambutan Mentari

Jika kesehatan dan ekonomi saja mampu berdamai atas perdebatan perkara siapa yang akan menjadi prioritas sehingga mereka lebih memilih dengan cara beradaptasi, bukankah selantasnya pariwisata harus mampu menghidupkan kembali sisa-sisa tenanganya?

Selama pandemi COVID-19 menyerang seluruh aspek muka bumi, sektor pariwisata memang dikatakan sangat berdampak signifikan, hampir tidak adanya pemasukan bagi masyarakat pelaku bidang usaha pariwisata, menyebabkan pariwisata mengalami kemunduran yang signifikan. Namun, presiden Indonesia mengatakan bahwa, sektor pariwisata haruslah mampu beradaptasi dengan keadaan yang menerpa saat ini, sehingga antara kesehatan dan ekonomi tetap mampu berjalan seiringan. Dalam hal ini menerapkan protokol kesehatan dalam penerapan keseluruhan aspek industri yang ada merupakan sebuah keharusan dan kewajiban, sehinga mau tidak mau industry pariwisata jika ingin bergerak, haruslah menerapkan standar protokol kesehatan yang telah ditentukan. Namun bukankah disaat seperti ini, kekhawatiran masyarakat akan pandemi ini justru lebih tinggi dibandingkan hasrat liburan yang sejak dari lama mereka tahan, karena anjuran untuk tetap dirumah saja. Secara psikologis kondisi masyarakat selama pandemi ini mengalami perubahan, dikarenakan banyaknya tekanan yang mungkin muncul dan harus dihadapi oleh masyarakat. Banyak diantara sejumlah masyarakat yang secara tak langsung mengalami bias optimism atau optimisme bias, yang juga dikenal sebagai optimisme tidak realistis serta optimisme komperatif, yang mana bias ini mengacu pada sebuah bias kognitif yang menyebabkan manusia percaya bahwa ia saat ini sedang tidak mengalami peristiwa negatif, sehingga dalam kondisi apapun manusia yang sedang berada pada tahapan bias tersebut menjadi tidak takut untuk melakukan aktivitas selama masa pandemi ini terjadi, dan menganggap bahwa pandemi ini tidak seberapa nyata bentuknya dikarenakan tidak dapat divisualisasikan secara nyata di depan mata, sehingga dari sebagian masyarakat yang memiliki pola psikologis yang terbentuk atas bias tersebut menjadi ingin berlibur atau menambah motivasi mereka untuk melakukan aktivitas terutama liburan, nongkrong, bertemu sanak saudara dan kerabat, atau bahkan mereka juga terpaksa untuk melakukan aktivitas tersebut didasarkan atas tuntutan isi perut. Dikarenakan banyak dari masyarakat yang merasa jenuh dan mengerti bila mana pandemi ini masih belum menemukan ujung titik yang terang, namun isi perut terus meronta dan tak dapat ditunda.

Didasarkan pada bias tersebut, sebenarnya sektor industri pariwisata mampu beradaptasi melalui peningkatan pelayanan protokol kesehatan. Seperti halnya Pulau Dewata yang telah membuka kembali aktivitas pariwisatanya per tanggal 9 juli bagi masyarakat lokal Pulau Dewata, serta tentunya menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan. Selain mencoba untuk membangkitkan kembali beberapa aspek yang ada, perlu adanya pembaruan serta alternatif  wisata yang mampu menjangkau keseluruhan aspek masyarakat. Salah satu mandat presiden, sektor pariwisata mampu mulai perlahan menciptakan alternatif pariwisata baru yang tidak terlalu melibatkan jumlah kunjungan wisatawan yang besar, alternatif tersebut dapat berupa pembukaan dan penawaran hotel-hotel untuk staycation, solo travel, serta wellness tourism. Pada kesempatan ini ungkapan yang sedikit menggelitik ialah wellness tourism. Wellness tourism sendiri tampak terdengar asing di kalangan umum. Sebenarnya wisata ini merujuk pada wisata kebugaran yang lebih menitik beratkan aktivitasnya pada kegiatan kesehatan baik fisik, psikologis, maupun kesehatan spiritual. Tren ini seolah apik dan cocok untuk digaungkan sebagai sebuah alternatif baru dikala masa pandemi.

Namun sejatinya wisata kebugaran masih menjadi kontradiktif disaat pandemi seperti saat ini. Logika sederhana yang dapat dibangun atas tercetusnya inisiasi wisata ini ialah banyak dari masyarakat masih merasa takut dan was-was jika ingin berpergian, apalagi jika harus berwisata hanya untuk sebuah kebugaran? Bukankah hal tersebut juga tetap dapat dilakukan ketika berada di rumah selama pandemi ini? lalu apakah yang menjadikan wisata kebugaran ini menjadi sebuah tren atau alternatif baru dikala pandemi ini masih menerpa? Namun disisi lain bagi beberapa masyarakat, alternatif terebut merupakan sebuah terobosan ide yang cukup menarik. Dikarenakan setelah pandemi ini menyerang, tatanan pola perilaku dan kebiasaan masyarakat juga akan turut berubah. Sehingga dengan menerapkan dan membangun sebuah tren berwisata baru terutama wisata yang lebih mengutamakan kebugaran akan memberikan angin segar pula bagi para pelaku industri pariwisata. Tren wellness tourism telah diterapkan dibeberapa daerah di Indonesia, salah satu daerah yang menerapkan tren wisata ini ialah Pulau Dewata. Sebagai pulau yang lebih dikenal dari negaranya sendiri di kancah internasional, membuat pulau ini sebagai ujung tombak pariwisata Indonesia. Tren wisata kebugaran pun telah diterapkan sejak sebelum adanya pandemi ini menyerang. Hal tersebut terbukti berdampak dan mampu membantu memberikan pendapatan lebih bagi APBD pulau tersebut. Maraknya usaha industri pariwisata yang bertemakan kesehatan seperti kelas yoga, spa, serta kelas meditasi dan kelas kesehatan lainnya menjadi incaran dan pola ciri khas khusus yang banyak dicari oleh wisatawan mancanegara ketika berkunjung ke daerah tersebut, tentunya selain dikenal akan keindahan pulau tersebut. Wisata kesehatan atau wisata kebugaran menjadi banyak diminati oleh wisatawan yang berkunjung disebabkan alternatif wisata tersebut seolah memberi angin segar yang baru yang tentunya tidak banyak dinikmati oleh banyak orang yang berkunjung. Kesan dan unsur ekslusifitas yang ditawarkan, menjadikan wisata kesehatan dan kebugaran banyak diminati dan diincar oleh wisatawan, sehingga industri wisata kesehatan dan kebugaran menjadi ramai dan seolah menciptakan peluang usaha baru. Tentunya pada wisata kesehatan dan kebugaran alternatif paket wisata yang ditawarkan akan berbeda dengan paket wisata pada umumnya, dan tentunya juga lebih menekankan pada kualitas health, hygiene, and well-being. Dari adanya unsur tersebut sejatinya diharapkan wellness tourism dapat menjadi angin segar yang membantu pulihnya sektor industri pariwisata selama dan sesudah masa pandemi ini.

Namun kendati demikian, wellness tourism masih menjadi sebuah kontradiktif pada praktiknya, disaat situasi seperti ini. Dikarenakan masih sangat beresiko tinggi jika harus berpergian untuk berlibur disaat situasi pandemi. Namun kiranya hal tersebut tetap dapat dipertimbangkan kembali, bagaimanakah wellness tourism dapat bergerak dan membantu memulihkan roda industri pariwisata, sehingga memang diperlukan inisiasi, pengembangan, serta persiapan yang maksimal tentunya juga dalam rangka mengurangi transmisi pandemi ini namun tetap dapat membantu berjalannya sektor industri pariwisata.

Akhir Prakata

Berujung pada sebuah untaian kata, bahwa sejatinya seluruh mahkluk hidup saat ini sedang berlomba-lomba memanjatkan doanya, berharap agar tahun cantik berangka kembar ini tak memberi kejutan mengerikan lainnya, kiranya cukup beri ruang bernafas bagi kami lakon dari penghuni bumi, agar mampu melanjutkan hidup kembali. Serta sebagai umat manusia bukan hanya doa yang patut dipanjatkan setiap harinya, untaian rasa untuk saling memahami arti menjadi seorang manusia bagi manusia lain juga turut dirajut setiap harinya. Dalam situasi seperti ini perdebatan tidak akan menyelesaikan masalah, dan juga pertikaian tak akan membantu memberi harapan hidup bagi keseluruhan mahkluk. Sehingga perlu mengerti bahwa membahu, mengapresiasi, menjabat, dan tak lupa memberikan uluran tangan merupakan hal yang harus digalakkan ketika situasi pandemi, yang saat ini masih terus menyerang dan tak tahu kapan titik ahkirnya. Lekas membaik seluruh isi muka bumi, ibu pertiwi sejati seperti merindu, pariwisata sejati mati bila ini tak ada inisiasi untuk bangkit kembali.


Daftar Pustaka:
  1. Haselton, Martie G., D. Nettle, P. W. Andrews, (2005). The evolution of cognitive bias. In D. M. Buss (Ed.), The Handbook of Evolutionary Psychology: Hoboken, NJ, US: John Wiley & Sons Inc. pp. 724-726
  2. Kemenparekraf. 2020. Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara Bulanan Tahun 2020. Kemenparekraf.go.id. https://www.kemenparekraf.go.id/post/data-kunjungan-wisatawan-mancanegara-bulanan-tahun-2020 Diakses pada 16 Juli 2020 pukul 08:16 WIB.
  3. Kruger, Justin & David Dunning, (1999). “Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One’s Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments”. Journal of Personality and Social Psychology. 77 (6): 1121–1134. CiteSeerX 10.1.1.64.2655.
  4. Pramono, Jaya. 2013. Strategi Pengembangan Health And Wellness Di Bali. Jurnal Manajemen, Strategi Bisnis, dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 66.

EDITOR : YANU

Leave a Reply

Your email address will not be published.